Mar 16, 2016

Buku dan Sebuah Kenangan

Buku terbaik dan Favorit
1. Al-Quran
Sebagai barisan umat muslim yang masih terseok-seok dalam menjalani kehidupan yang fana ini,  Al-Quran ngga boleh di langkahi, harus number one tidak boleh membantah, begitu kata pak Ustatz.

2. Buku nikah
Cieeee... yg udah laku *pletakkk* ini buku termasuk keramat, kudu di jaga dan di taruh bersamaan surat surat penting lainnya, bahkan terpisah dari kitab suci. Kebayangkan kalau hilang, masakk kita kudu nikah lagi, tapi kalau di suruh hanymuun lagi saya mauuu..

Baiklah, dua buku sakral udah berada di tempatnya, mari ke buku bikinan penulis hebat lainnya.

Jujur, saya bukan termasuk kutu buku, suka baca tapi jarang beli. Semenjak nikah buku yang saya beli seputar resep masakan dan pengasuhan anak dan rumah tangga. Apalagi jamannya internet mendunia seantero raya, resep-resep udah banyak berseleweran belum lagi tentang parenting bejibun sekali bahkan sampai di jelaskan sama pakarnya. Walau demikian tetep aja praktik di lapangan saya masih jumpalitan.

Namun ada beberapa hal yang tidak di sajikan di internet walau isinya sama, seperti membacakan cerita bersama anak anak. Membaca lewat hape tentu momentnya sangat berbeda dibandingkan membaca lewat buku. Ill

Mulailah berburu buku buku cerita, dari toko buku ternama sampai pasar loak. Memberi kesempatan pada anak anak untuk memilih buku kesenangannya, dan mereka terlihat sangat antusias. Mulai mencintai buku, membacanyapun jadi lebih terasah dan kadang mereka bikin cerita sendiri. Mengantarkan mereka ke alam mimpi dengan bacaan yang baik tentu ada kebahagia an tersendiri buat saya dan anak-anak.

Rafa termasuk anak yang suka mendengarkan saat dibacakan cerita, dan senang membahasnya. Sedangkan si bungsu Alfie, lebih senang melihat gambar gambar di buku, bahkan di usia 4 tahun dia bercerita sama persisssss di bacaan 1 buku penuh hanya dengan melihat gambarnya walau dia sendiri  belum bisa membaca.

Terlepas dari buku anak anak, ada satu novel yang membuat saya sedikit berubah haluan memahami tentang kesastraan. Dulu waktu sekolah  pernah lihat buku novel asli Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang sering dikenal dengan Buya Hamka. Novel dengan ketebelan melebihi alkitab umat Muslim yang pernah saya miliki. Covernya bener bener hard dan dalemannya kagak ada gambarnya sama sekali *maklum pecinta komik* kebayangkan berapa ratus tahun saya harus menghabiskan bacaan demi satu novel itu. Belum lagi tulisannya, kata pegantarnya aja udah tingkat dewa, apalah saya yang waktu itu buat nulis karangan bebas aja ngga pernah lepas dari kata "Pada suatu hari". Dari situ saya beranggapan sastra is bahasa formal dan resmi sejajar dengan UUD 45, bisa jadi di bawahnya kita suci.

Di tahun  2000an ada novel yang cukup menggelitik, tutur katanya ringan, menghibur dan seakan dia keluar dari jalur bahasa sastra resmi seperti pemahaman saya, yah.. dialah Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Semenjak itu otak saya mengamini,  bahwa menulis itu terutama kalau mau bikin cerita tidak harus resmi resmi banget *tentu yang menggunakan eyd yang baik dan benar jauh lebih dianjurkan*.  Tidak memaksakan diri meniru tulisan orang yang udah bertitle penulis ternama. Enjoy dengan karekter tulisan sendiri,  terus  belajar dan berkarya, semoga :)

#OneDayOnePost

7 comments:

  1. Saya malah belum baca tuh Laskar Pelangi.. Hehehe
    Pengen juga rasanya membaca buku itu...

    ReplyDelete
  2. Buku tabungan gak masuk mbak? 😅😅😅kayak mas nahrawi..*eh mas nahrawi atau siapa yak..😮

    ReplyDelete
  3. Enjoy dengan karakter tulisan sendiri ^_^
    Sip mba Raida....

    salam buat dedek2nya, hihi..

    ReplyDelete
  4. Enjoy dengan karekter tulisan sendiri, terus belajar dan berkarya"-setuju bangett mbak:))

    ReplyDelete
  5. Enjoy dengan karekter tulisan sendiri, terus belajar dan berkarya"-setuju bangett mbak:))

    ReplyDelete