Pagi masih merekah. Di
pertigaan sebuah jalan besar, tampak bapak-bapak menggelar lapak dagangan. Aneka
sayur dan buah-buahan segar. Beralaskan karung plastik. Beberapa masih utuh di
dalam sebuah bakul. Kulit mereka legam, dengan tubuh kurus.
Seorang ibu sedang sibuk memilih beberapa petai
dan menanyakan harga. Saat bapak itu menjawab tentang sebuah harga, sang ibu
melonjak kaget, “Petai layu begini kok mahal sih, Pak!” ucap sang ibu. Tergambar
sangat jelas raut kesedihan di wajah sang penjual. Si ibu itu serta merta mencari pembenaran kepada
saya, “iya kan, Mbak? Layu gini masa dikasih harga segini,” ucapnya lagi.
Saya
yang melihat petai itu amat sangat hijau tentu saja otomatis menolak, “Enggak
bu, itu masih sangat segar,” ucap saya lagi. Si ibu mengedip-ngedipkan mata
supaya saya paham dan membantu. Maaf, saya tidak kenal anda juga si pedagang, saya
hanya mengikuti apa kata hati saya.
Beberapa
kali memang saya berbelanja di pertigaan itu. Pernah suatu kali bertanya dari
manakan buah-buahan dan sayur itu didatangkan. Dari penuturannya, semua dipetik dari perkebunan di Boyolali. Mungkin
bukan dari perkebunan mereka sendiri, ada beberapa dari kerabat atau orang
sekitar. Setiap bulan dagangan mereka bisa berganti-ganti, tergantung musim
yang sedang panen. Mereka mengangkut menggunakan bus antar kota.
Mari kita
hitung mundur. Mereka telah tiba di sana sekitar jam 7 pagi. Itu berarti dari Boyolali sendiri sekitar jam 6. Tentu mereka
harus menyipakan dagangan terlebih dahulu sebelum diangkut, anggaplah jam 5. Belum
lagi kalau mereka memetik sendiri dan lain sebagainya. Mereka akan pulang saat
dagangan habis. Kalau tidak habis biasanya menjelang siang akan di jual dengan harga
di bawah standar. Berapakah kira-kira keuntungan yang mereka peroleh?
Iya bu,
saya sangat paham. Kita sebagai ibu rumah tangga harus jeli memanajement
keuangan agar tidak besar pasak daripada tiang. Harus pinter-pinter memilah
mana yang dibeli dan mana yang tidak. Benar, kalau dapat harga murah, kenapa
harus beli yang mahal kalau kuwalitasnya sama-sama bagus. Kalau bisa nawar dan menekan
harga serendah-rendahnya, kenapa harus pasrah saat seorang pedagang seperti
mereka masih bisa diajak negosiasi.
Tapi bu
... iya tapi, pernahkah kita berpikir, mereka hanya pedagang kecil. Perjalanan untuk
sampai menemui pembeli itu sungguh bagi mereka tidak mudah. Mereka tidak punya
karyawan yang bisa membantu mereka saat lelah di perjalanan. Mereka tidak bisa
memanajement waktu dan keuangan secara pasti karena mereka menghitung hanya lewat
perasaan dan pikiran. Kadang Bu.. iya, kadang, kalkulator saja mereka tidak
punya, apalagi smartphone dengan aplikasi canggih untuk menghitung segala usaha
mereka.
Iya,
saya paham banget. Pedagang-pedagang kecil itu kadang mukanya judes, senyumnya
kurang. Adakalanya barang-barangnya sudah tidak layak. Atau di permukaan bagus,
tapi di dalam jelek. Tettapi, pedagang besar juga sama. Mereka juga sering
melakukan kecurangan, mereka juga ada yang judes. Jangan pernah pukul sama rata
pedagang kecil itu curang. Andai mereka sudah jadi pedagang besar, mereka pasti
sudah ogah jualan di pinggir-pinggir jalan. Kalaupun keberatan dengan harga
yang mereka tawarkan, ataupun dagangannya tidak kita sukai, sudah tinggalkan
saja. Tidak perlu lagi mengomentari apalagi melontarkan kata-kata pedas untuk menyakiti
mereka.
Yang saya
khawatirkan, kalau mereka sudah melek tekhnologi, bisa dibayangkan, mereka
tidak akan mau lagi mangkal di pertigaan dan harus menghadapi pembeli-pembeli
yang cerewet seperti kita ini. Lebih dari itu, mereka akan mendoktrin
keturunan-keturunan mereka untuk jangan pernah jadi pedagang kecil seperti
mereka apalagi petani. Sungguh, sudah caranya melelahkan, terus sering dizolimin
pula. Enak itu di supermarket, tidak ada yang berani nawar. Pemilik bisa
jalan-jalan, dan usahanya pun tetap berjalan.
Bagaimana
kalau sudah tidak ada lagi yang mau berkebun? Tidak ada lagi yang mau jadi
petani? Terus kita makan-makanan import gitu? Saya mah ogah. Saya masih suka
buah sirsak yang ditanam di bumi Indonesia. Saya masih suka mangga harum
manalagi, yang sengir dan teman-temannya itu. Saya tidak terlalu menyukai
anggur australia, banana entah dari mana. king banana (baca; pisang raja) is de
best, juga pisang ambonnya yang dari Tawang mangu, itu sungguh tiada duanya. Salah
pondok? Itu buah eksotis pakai banget. Apel malang? Apel paling enak se angkasa
raya. Beras rojolele? Aw .. ini beras sangat enak dan enggak ngebosenin, tidak tergantikan
oleh beras vietnam ataupun basmatinya ala-ala luar sana.
Mari lindungi
para petani-petani juga pedagang-pedagang kecil. Sejahterakan dan bahagiakan
mereka selalu.
Salam dari anak mantan
pedagang kecil :)
No comments:
Post a Comment