Tubuh laki-laki berbadan tinggi yang kini duduk bersandar di sebuah kursi besi, tampak kusut. Seorang perempuan dengan rambut dikucir kuda mendekat. Entah berapa lama sosok yang pernah sangat dengan perempuan itu terakhir kali membersihkan tubuh. Mata elang yang dulu cerah seolah redup.
Mereka duduk berhadapan dipisah sebuah meja panjang dan saling diam. Mata sang perempuan menatap dalam. Tak ada lagi genangan yang biasa membasahi pipinya. Buliran kristal itu telah mengering, tak ada yang tersisa. Ia bergeming tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
“Maafkan aku.” Suara laki-laki itu terdengar bergetar.
“Aku sudah memaafkanmu.”
“Kembalilah, kita mulai dari awal lagi.”
“Aku memaafkanmu, bukan berarti menerimamu kembali. Kau yang meminta untuk pergi.”
“Aku sangat menyesal.”
“Aku sudah mengikhlaskan semuanya.”
“Aku mohon, berilah kesempatan untuk terakhir kali.’
“Ini bukan kata-kata pertama yang pernah engkau ucapkan.”
“Aku mohon.” Laki-laki itu mengiba, tetesan embun luruh dari sudut matanya."
"Permohonanmu tidak akan merubah semua yang pernah terjadi. Pergilah, tidak ada lagi yang tersisa di sini. Pergilah sebagaimana dulu kau ingin pergi." Air mata perempuan itu telah mengering walau batinnya masih terasa sesak. Asa itu telah pergi … asa itu telah mati, terkubur bersama luka yang bersemayam begitu dalam.
***
Sepengal catatan dari kisah nyata yang entah kapan akan kelar. Sebuah hubungan rumit dengan luka-luka membersamai. Tetapi, dari merekalah saya belajar menghargai sebuah hubungan, kesempatan dan pengabdian.
Di tempat lain, seorang pemuda begitu terpukul meratapi pusara kedua orang tuanya. Dunia bisa saja ia beli, namun seluruh yang ia punya bahkan tidak bisa membeli kebersamaan walau hanya untuk satu hari.
Dulu, ada seorang ibu yang memiliki banyak anak. Lelah terus mendera, berharap anaknya cepat besar dan mandiri agar ia bisa menikmati hari-hari dengan rumah yang selalu rapi, cucian yang tidak menggunung dan ocehan yang senantiasa mengganggu waktu istirahatnya. Bisa berkumpul bersama sahabat tanpa ada hambatan.
Waktu begitu cepat berlalu. Kaki-kaki anaknya yang dulu mungil merangkak ke sana ke mari telah kuat dan kokoh. Mereka telah berlari, sangat jauh. Tangan-tangannya serupa kepakan sayap. Mereka telah pergi, dan hanya sesekali kembali. Ocehan-ocehan yang selalu mengganggu dulu menjadi hal yang sangat dirindukan. Bahkan ia rela lebih lelah dari dulu, hanya untuk melihat anak-anak berada di dekatnya. Ia rela rumahnya lebih berantakan bahkan beratus-ratus kali lipat dan dengan riang hati ia bersihkan agar bisa menghidu aroma tubuh sang buah hati yang pernah ia lahirkan.
Apa yang paling kau sesali, rindukan dan ingin sekali dilakukan saat belahan jiwamu, pergi?
Apa yang ingin kau perbuat seandainya Tuhan memberi kesempatan satu hari saja mengembalikan orang yang paling kau kasihi?
Apa yang ingin kau katakan ketika berada di pembaringan dengan kesakitan yang terus mendera, kepada mereka yang pernah kau abaikan dan tersakiti?
Masih adakah kesempatan itu? Jika YA, lakukan sekarang. Kelak, ketika masa itu telah terhenti, walau ia memutuskan pergi, dan Tuhan memintanya atau saat kau kembali, tidak ada lagi yang harus disesali. Hanya sebuah senyuman dan ucapan terima kasih yang terus menghiasi.
Mereka duduk berhadapan dipisah sebuah meja panjang dan saling diam. Mata sang perempuan menatap dalam. Tak ada lagi genangan yang biasa membasahi pipinya. Buliran kristal itu telah mengering, tak ada yang tersisa. Ia bergeming tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
“Maafkan aku.” Suara laki-laki itu terdengar bergetar.
“Aku sudah memaafkanmu.”
“Kembalilah, kita mulai dari awal lagi.”
“Aku memaafkanmu, bukan berarti menerimamu kembali. Kau yang meminta untuk pergi.”
“Aku sangat menyesal.”
“Aku sudah mengikhlaskan semuanya.”
“Aku mohon, berilah kesempatan untuk terakhir kali.’
“Ini bukan kata-kata pertama yang pernah engkau ucapkan.”
“Aku mohon.” Laki-laki itu mengiba, tetesan embun luruh dari sudut matanya."
"Permohonanmu tidak akan merubah semua yang pernah terjadi. Pergilah, tidak ada lagi yang tersisa di sini. Pergilah sebagaimana dulu kau ingin pergi." Air mata perempuan itu telah mengering walau batinnya masih terasa sesak. Asa itu telah pergi … asa itu telah mati, terkubur bersama luka yang bersemayam begitu dalam.
***
Sepengal catatan dari kisah nyata yang entah kapan akan kelar. Sebuah hubungan rumit dengan luka-luka membersamai. Tetapi, dari merekalah saya belajar menghargai sebuah hubungan, kesempatan dan pengabdian.
Di tempat lain, seorang pemuda begitu terpukul meratapi pusara kedua orang tuanya. Dunia bisa saja ia beli, namun seluruh yang ia punya bahkan tidak bisa membeli kebersamaan walau hanya untuk satu hari.
Dulu, ada seorang ibu yang memiliki banyak anak. Lelah terus mendera, berharap anaknya cepat besar dan mandiri agar ia bisa menikmati hari-hari dengan rumah yang selalu rapi, cucian yang tidak menggunung dan ocehan yang senantiasa mengganggu waktu istirahatnya. Bisa berkumpul bersama sahabat tanpa ada hambatan.
Waktu begitu cepat berlalu. Kaki-kaki anaknya yang dulu mungil merangkak ke sana ke mari telah kuat dan kokoh. Mereka telah berlari, sangat jauh. Tangan-tangannya serupa kepakan sayap. Mereka telah pergi, dan hanya sesekali kembali. Ocehan-ocehan yang selalu mengganggu dulu menjadi hal yang sangat dirindukan. Bahkan ia rela lebih lelah dari dulu, hanya untuk melihat anak-anak berada di dekatnya. Ia rela rumahnya lebih berantakan bahkan beratus-ratus kali lipat dan dengan riang hati ia bersihkan agar bisa menghidu aroma tubuh sang buah hati yang pernah ia lahirkan.
Apa yang paling kau sesali, rindukan dan ingin sekali dilakukan saat belahan jiwamu, pergi?
Apa yang ingin kau perbuat seandainya Tuhan memberi kesempatan satu hari saja mengembalikan orang yang paling kau kasihi?
Apa yang ingin kau katakan ketika berada di pembaringan dengan kesakitan yang terus mendera, kepada mereka yang pernah kau abaikan dan tersakiti?
Masih adakah kesempatan itu? Jika YA, lakukan sekarang. Kelak, ketika masa itu telah terhenti, walau ia memutuskan pergi, dan Tuhan memintanya atau saat kau kembali, tidak ada lagi yang harus disesali. Hanya sebuah senyuman dan ucapan terima kasih yang terus menghiasi.
No comments:
Post a Comment