Ketika aku tengah meninabobokan si bungsu, terdengar angin mengiung-ngiung, aku langsung loncat keluar kamar dan melihat ke angkasa, terlihat gumpalan seperti awan yang memanjang berbentuk kerucut, meliuk-liuk dan berputar. Langsung lari mencari si sulung, khawatir dia sedang bermain di luar, ternyata dia sedang asik memainkan semprotan setrikaanku layaknya maen tembak-tembakkan. Tidak berapa lama kulihat kembali ke angkasa, alhamdulillah si gumpalan yang berputar-putar itu telah terpecah dan menghilang.
Hari ini hujannya sangat lebat, maklum saja sudah masuk
bulan oktober hampir tiap hari langit kota Solo
berselimut awan hitam, dan hampir tiap sore pula kota
ini di guyur hujan. Hujan lebat, bersiaplah dengan lilin, lampu emergency dan
sejenisnya, karna menurut pengalaman pribadi 10 kali hujan lebat 7 kalinya di
sertai mati lampu dan di kasih bonus tambahan 7 kali matinya aliran air dari
PDAM, apakah mereka selalu berhubungan? Saya sendiri tidak pernah mengerti
mungkin juga tidak mau mengerti, melihat tiang-tiang listrik penuh dengan
kabel-kabel belum lagi kalau di dekatnya ada pohon-pohon rindang seperti
bermesraan dengan si kabel rasanya udah bikin otak ini ikutan terlilit-lilit,
tidak berani membayangkan bagaimana isi kabel-kabel di Perusahaan ListrikNegara.
Saking asiknya bersemedi bersama keluarga mengelilingi
lilin, aku lupa memasukkan sepatu si sulung ke dalam rumah. Basah kuyup
jadinya, mana punya satu-satunya belum lagi besok mau di pakai di sekolahnya
ada acara bulanan ke kolam renang. Kalau seragam kan bisa di setrika lha sepatu? Tapi aku gak
pernah kehilangan ide, sepatu boleh saja basah tapi pikiran harus tetap cerah.
apalagi kalau udah kepepet, tinggal di dempetin aja di samping lemari es, insya
Allah semalaman nangkring di sana
besok udah kering selamat sentosa.
Ketika menaruh sepatu ke samping lemari es, aku sempat
tersenyum, cengar cengir sendiri membayangkan nasib sepatuku dulu. Zaman
sekolah aku hanya memiliki sepasang sepatu usang yang pinggirnya udah mulai
bolong karna di jejal kakiku yang terus membesar bertahun-tahun tidak pernah di
ganti, sepasang baju merah putih, dan sepasang baju pramuka. Setiap hari aku
harus berkejaran dengan cucian seragam. Sambil berenang di sungai setiap sore
di sambi mencuci baju, di tiriskan sampai airnya benar-benar tidak menetes
lagi, setelah itu aku gantung di atas lampu TL 15 watt, besok pagi sebelum
berangkat seragam itu pasti sudah kering, enak juga di pakai saat
hangat-hangat. Itu kalau lagi beruntung, apesnya saat mati lampu itu berarti
seragamku tidak kering sempurna, di pakaipun tentu terasa dingin sekali, dan
yang lebih memperparah ke adaan kalau sepatuku ikutan basah. Setiap malam kalau
hujan lebat aku selalu berdoa ‘ya Allah jangan matiin lampu malam ini yah,
kalaupun mati juga tolong hujannya sampai pagi sampai aku masuk kelas, amin’ kan lumayan tuh
kuyup-kuyup baju kirain abis kehujanan, mana saya tidak pernah punya payung
pula.
Sebenarnya kami masih punya setrika, namun sangat jarang di
pakai, karna kapasitas listrik yang tidak memadai, kami hanya bisa memakainya
kalau semua aliran listrik bener-benar tidak terpakai, maklum saja kami masih
harus berbagi dengan dua keluarga lainnya
yang memakai aliran yang sama. Pernah sekali Kakakku yang kala itu
sedang masa puber sedang di pedekate sama si hitam manis di sekolahnya, nekat
juga mengeluarkan setrika keramat peninggalan kakek moyang berbahan dasar arang. Demi terlihat rapi dan
cantik di depan si akang, sedang asik-asiknya nyetrika mungkin sambil
membayangkan sosok pujaan entah dari mana angin berhembus, tiba-tiba saja
bongkahan arang kecil jatuh tepat di atas seragamnya. Walau sudah secepat kilat
di singkirkan namun lobang menganga menimpa seragam bagian belakang miliknya.
Malangnya diapun tidak memiliki seragam tambahan. Namun masih, diapun cerdik
tinggal di gerai saja rambut panjangnya, maka si lobangpun tertutup, tapi lagi
tetep aja semisal si aa ketika bilang ‘kamu cantik banget hari ini’ betapa dia
melompat-lompat kegirangan maka terlihatlah lobang itu, maaf ini hanya bayangan
saya saja.
Beruntungnya tinggal di pulau Jawa ini kalau mati lampu gak
pake lama amat sangat jauh berbeda dengan kampong halamanku di ujung Kalimantan
sana. Kalau di
sini asal gak hujan lebat saja sebulan matinya masih bisa di hitung dengan
sebelah jari tangan, nah kalau di tempatku dulu terangnya lampu di malam hari yang bisa di
hitung sama jari, matinya udah gak kehitung lagi, belum lagi waktunya yang
sangat lama. Dan yang pasti kami selalu kebagian jatah hari pemadaman bergilir
bersama, macem selir saja. Dulu kami lebih
sering mengenal PLN sebagai
Perusahaan Lilin Negara.
Pernah juga suatu ketika, saat mati lampu dimalam hari,
karna banyak tugas yang harus di selesaikan, nekat saja menyalakan lampu teplok
kecil yang terbuat dari bekas kaleng di atasnya ada sumbu di kelilingi empat
buat kaca, dan di lengkapi kawat kecil buat pegangan. Walau redup lumayan juga
buat belajar. Karna tidak pernah ada SNI juga itu lampu, keamanannya amat
sangat minim, saat aku sedang serius-seriusnya berusaha memecahkan persoalan
yang di berikan sang guru tercinta tiba-tiba pasukan nyamuk mengiang-ngiang di
telingaku aku berusaha mengusirnya, menangkapnya, namun nyamuk-nyamuk itu
seperti menantangku untuk terus bermain, akupun menjadi agresif saat mereka
mulai mengisap darahku dan happpp…. brakkk…..byurr… Bukan nyamuk yang kudapat
tapi lampu teplok ku jatuh dan kaitan penyangga minyak tanahnya terbuka hingga
mengguyur lantai rumah panggungku yang terbuat dari papan, aku berusaha
memadamkannya, namun api semakin menjalar, dalam kepanikan yang tiada terkira
langsung lari ke dapur membawa satu ember berisi air dan byarrrrrrrr… api itu
akhirnya padam juga, namun bunyi detak jantungku tiada terkira hebatnya, aku nyaris membakar
rumah orang tuaku. Semenjak itu aku tidak pernah berani menyalakan lampu teplok
lagi.
Nasibku jauh lebih beruntung dari dua orang keluargaku
lainnya. Suaminya meninggal tersengat listrik saat memperbaiki listrik di
rumahnya di kala air sedang pasang, anaknya yang baru berusia 11 bulan itu pun
seketika menjadi yatim. Lebih tragis lagi kisah Fulan, ayahnya juga meninggal saat
bekerja serabutan sebagai pemasangan listrik ataupun perbaikan-perbaikan
listrik yang rusak. Karna keterbatasan biaya dan mungkin juga masalah yang
bertubi-tubi menderanya, Fulan akhirnya harus berpisah pula dengan ibu
kandungnya dan di besarkan oleh orang lain yang telah lama menantikan hadirnya
seorang anak. Masih cerita Fulan kecil yang tinggal tidak jauh dari rumahku, pergi menghadap sang Khalik saat mengejar layangan yang tersangkut di tiang listrik.
Mungkin di luar sana
masih banyak kisah serupa yang terjadi. Menjelang hari listrik se Indonesia, aku
cuman berharap tidak ada lagi fulan-fulan yang menjadi yatim, di tinggal sang
bapak karena tersengat listrik, tidak ada lagi istri-istri yang menjadi janda
karna hal serupa ataupun fulan-fulan kecil karna keinginan tahuannya yang
sangat dalam bermain dengan kabel-kabel listrik dengan keamanan sarana listrik dirumahnya ataupun di sekitarnya yang
sangat minim. Berharap ke depannya ketika PLN mengalirkan listriknya ke sebuah
rumah, PLN juga memberikan penyuluhan kepada setiap anggota rumah tersebut dan
memeriksanya secara berkala, apalagi untuk perumahan menengah ke bawah. Pun
ketika ada gangguan tekhnis, alangkah indahnya kalau di kerjakan oleh
oran-orang PLN itu sendiri yang telah perpengalaman di bidangnya secara
Cuma-Cuma. Menurut informasi katanya memang gratis tapi di lapangan tetap aja
ada dana tambahan ‘seikhlasnya’ dengan nominal yang telah di tentukan sama
petugas, walau tentu saja ini tidak di lakukan oleh semua petugas lapangan,
karna aku sangat yakin petugas PLN itu adalah sekumpulan orang yang
pintar-pintar baik hati dan gemar menolong.
Selamat hari Listrik, teruslah bekerja, bekerja dan bekerja,
menerangi seluruh penjuru dari kota
hingga pelosok bumi nusantara, tak ada lagi kegelapan walau malam tanpa purnama.
Jayalah PLN, jayalah Indonesiaku.