Oct 18, 2012

PLN dan Seragam sekolahku


Ketika aku tengah meninabobokan si bungsu, terdengar angin mengiung-ngiung, aku langsung loncat keluar kamar dan melihat ke angkasa, terlihat gumpalan seperti awan yang memanjang berbentuk kerucut, meliuk-liuk dan berputar. Langsung lari mencari si sulung, khawatir dia sedang bermain di luar, ternyata dia sedang asik memainkan semprotan setrikaanku layaknya maen tembak-tembakkan. Tidak berapa lama kulihat kembali ke angkasa, alhamdulillah si gumpalan yang berputar-putar itu telah terpecah dan menghilang.

Hari ini hujannya sangat lebat, maklum saja sudah masuk bulan oktober hampir tiap hari langit kota Solo berselimut awan hitam, dan hampir tiap sore pula  kota ini di guyur hujan. Hujan lebat, bersiaplah dengan lilin, lampu emergency dan sejenisnya, karna menurut pengalaman pribadi 10 kali hujan lebat 7 kalinya di sertai mati lampu dan di kasih bonus tambahan 7 kali matinya aliran air dari PDAM, apakah mereka selalu berhubungan? Saya sendiri tidak pernah mengerti mungkin juga tidak mau mengerti, melihat tiang-tiang listrik penuh dengan kabel-kabel belum lagi kalau di dekatnya ada pohon-pohon rindang seperti bermesraan dengan si kabel rasanya udah bikin otak ini ikutan terlilit-lilit, tidak berani membayangkan bagaimana isi kabel-kabel di Perusahaan ListrikNegara.

Saking asiknya bersemedi bersama keluarga mengelilingi lilin, aku lupa memasukkan sepatu si sulung ke dalam rumah. Basah kuyup jadinya, mana punya satu-satunya belum lagi besok mau di pakai di sekolahnya ada acara bulanan ke kolam renang. Kalau seragam kan bisa di setrika lha sepatu? Tapi aku gak pernah kehilangan ide, sepatu boleh saja basah tapi pikiran harus tetap cerah. apalagi kalau udah kepepet, tinggal di dempetin aja di samping lemari es, insya Allah semalaman nangkring di sana besok udah kering selamat sentosa.

Ketika menaruh sepatu ke samping lemari es, aku sempat tersenyum, cengar cengir sendiri membayangkan nasib sepatuku dulu. Zaman sekolah aku hanya memiliki sepasang sepatu usang yang pinggirnya udah mulai bolong karna di jejal kakiku yang terus membesar bertahun-tahun tidak pernah di ganti, sepasang baju merah putih, dan sepasang baju pramuka. Setiap hari aku harus berkejaran dengan cucian seragam. Sambil berenang di sungai setiap sore di sambi mencuci baju, di tiriskan sampai airnya benar-benar tidak menetes lagi, setelah itu aku gantung di atas lampu TL 15 watt, besok pagi sebelum berangkat seragam itu pasti sudah kering, enak juga di pakai saat hangat-hangat. Itu kalau lagi beruntung, apesnya saat mati lampu itu berarti seragamku tidak kering sempurna, di pakaipun tentu terasa dingin sekali, dan yang lebih memperparah ke adaan kalau sepatuku ikutan basah. Setiap malam kalau hujan lebat aku selalu berdoa ‘ya Allah jangan matiin lampu malam ini yah, kalaupun mati juga tolong hujannya sampai pagi sampai aku masuk kelas, amin’ kan lumayan tuh kuyup-kuyup baju kirain abis kehujanan, mana saya tidak pernah punya payung pula.

Sebenarnya kami masih punya setrika, namun sangat jarang di pakai, karna kapasitas listrik yang tidak memadai, kami hanya bisa memakainya kalau semua aliran listrik bener-benar tidak terpakai, maklum saja kami masih harus berbagi dengan dua keluarga lainnya  yang memakai aliran yang sama. Pernah sekali Kakakku yang kala itu sedang masa puber sedang di pedekate sama si hitam manis di sekolahnya, nekat juga mengeluarkan setrika keramat peninggalan kakek moyang berbahan dasar arang. Demi terlihat rapi dan cantik di depan si akang, sedang asik-asiknya nyetrika mungkin sambil membayangkan sosok pujaan entah dari mana angin berhembus, tiba-tiba saja bongkahan arang kecil jatuh tepat di atas seragamnya. Walau sudah secepat kilat di singkirkan namun lobang menganga menimpa seragam bagian belakang miliknya. Malangnya diapun tidak memiliki seragam tambahan. Namun masih, diapun cerdik tinggal di gerai saja rambut panjangnya, maka si lobangpun tertutup, tapi lagi tetep aja semisal si aa ketika bilang ‘kamu cantik banget hari ini’ betapa dia melompat-lompat kegirangan maka terlihatlah lobang itu, maaf ini hanya bayangan saya saja.

Beruntungnya tinggal di pulau Jawa ini kalau mati lampu gak pake lama amat sangat jauh berbeda dengan kampong halamanku di ujung Kalimantan sana. Kalau di sini asal gak hujan lebat saja sebulan matinya masih bisa di hitung dengan sebelah jari tangan, nah kalau di tempatku dulu terangnya lampu di malam hari yang bisa di hitung sama jari, matinya udah gak kehitung lagi, belum lagi waktunya yang sangat lama. Dan yang pasti kami selalu kebagian jatah hari pemadaman bergilir bersama, macem selir saja. Dulu kami lebih  sering mengenal PLN sebagai Perusahaan Lilin Negara.

Pernah juga suatu ketika, saat mati lampu dimalam hari, karna banyak tugas yang harus di selesaikan, nekat saja menyalakan lampu teplok kecil yang terbuat dari bekas kaleng di atasnya ada sumbu di kelilingi empat buat kaca, dan di lengkapi kawat kecil buat pegangan. Walau redup lumayan juga buat belajar. Karna tidak pernah ada SNI juga itu lampu, keamanannya amat sangat minim, saat aku sedang serius-seriusnya berusaha memecahkan persoalan yang di berikan sang guru tercinta tiba-tiba pasukan nyamuk mengiang-ngiang di telingaku aku berusaha mengusirnya, menangkapnya, namun nyamuk-nyamuk itu seperti menantangku untuk terus bermain, akupun menjadi agresif saat mereka mulai mengisap darahku dan happpp…. brakkk…..byurr… Bukan nyamuk yang kudapat tapi lampu teplok ku jatuh dan kaitan penyangga minyak tanahnya terbuka hingga mengguyur lantai rumah panggungku yang terbuat dari papan, aku berusaha memadamkannya, namun api semakin menjalar, dalam kepanikan yang tiada terkira langsung lari ke dapur membawa satu ember berisi air dan byarrrrrrrr… api itu akhirnya padam juga, namun bunyi detak jantungku tiada terkira hebatnya, aku nyaris membakar rumah orang tuaku. Semenjak itu aku tidak pernah berani menyalakan lampu teplok lagi.

Nasibku jauh lebih beruntung dari dua orang keluargaku lainnya. Suaminya meninggal tersengat listrik saat memperbaiki listrik di rumahnya di kala air sedang pasang, anaknya yang baru berusia 11 bulan itu pun seketika menjadi yatim. Lebih tragis  lagi kisah Fulan, ayahnya juga meninggal saat bekerja serabutan sebagai pemasangan listrik ataupun perbaikan-perbaikan listrik yang rusak. Karna keterbatasan biaya dan mungkin juga masalah yang bertubi-tubi menderanya, Fulan akhirnya harus berpisah pula dengan ibu kandungnya dan di besarkan oleh orang lain yang telah lama menantikan hadirnya seorang anak. Masih cerita Fulan kecil yang tinggal tidak jauh dari rumahku, pergi menghadap sang Khalik saat mengejar layangan yang tersangkut di tiang listrik.

Mungkin di luar sana masih banyak kisah serupa yang terjadi. Menjelang hari listrik se Indonesia, aku cuman berharap tidak ada lagi fulan-fulan yang menjadi yatim, di tinggal sang bapak karena tersengat listrik, tidak ada lagi istri-istri yang menjadi janda karna hal serupa ataupun fulan-fulan kecil karna keinginan tahuannya yang sangat dalam bermain dengan kabel-kabel listrik  dengan keamanan sarana listrik dirumahnya ataupun di sekitarnya yang sangat minim. Berharap ke depannya ketika PLN mengalirkan listriknya ke sebuah rumah, PLN juga memberikan penyuluhan kepada setiap anggota rumah tersebut dan memeriksanya secara berkala, apalagi untuk perumahan menengah ke bawah. Pun ketika ada gangguan tekhnis, alangkah indahnya kalau di kerjakan oleh oran-orang PLN itu sendiri yang telah perpengalaman di bidangnya secara Cuma-Cuma. Menurut informasi katanya memang gratis tapi di lapangan tetap aja ada dana tambahan ‘seikhlasnya’ dengan nominal yang telah di tentukan sama petugas, walau tentu saja ini tidak di lakukan oleh semua petugas lapangan, karna aku sangat yakin petugas PLN itu adalah sekumpulan orang yang pintar-pintar baik hati dan gemar menolong.

Selamat hari Listrik, teruslah bekerja, bekerja dan bekerja, menerangi seluruh penjuru dari kota hingga pelosok bumi nusantara, tak ada lagi kegelapan walau malam tanpa purnama. Jayalah PLN, jayalah Indonesiaku.