Jun 17, 2016

Ramadan di Kota Solo

Sebagai pendatang dulu sempat sedih, nuansa Ramadan di kota ini sungguh minim. Begitu banyak warung makan yang tetap buka, orang merokok di segala tempat, nyemal nyemil semaunya walau ucapan selamat menunaikan ibadah puasa cukup banyak. Eitsss... tunggu dulu

Ini adalah Ramadanku di kota Solo untuk ke sekian kalinya. Di sini memang secara pribadi belum mendengar adanya perda larangan berjualanan makanan di siang hari ataupun kewajiban menutup warungnya dengan aneka tirai, sangat berbeda dengan kampung halamanku di Kalimantan Selatan.

Walau demikian beberapa warung mengubah jam tayang semisal warung sop soto bu Sri, tidak jauh dari tempat tinggalku. Di hari biasa buka sejak pagi hingga siang tapi tapi semenjak Ramadan berganti dari jam 2 dini hari sampai siang atau sampai habus. Dia jadi penolong buat orang-orang untuk bersantap saur yang tidak sempat masak juga ngelayanin orang yang tidak berpuasa di pagi dan siangnya.

Di warung lainnya yang biasa buka dari jam 11 sampai malam hari berubah strategi dari jam 3 sore hingga malam. Di beberapa warung lagi buka seperti biasa dan tetep ramai.

Tapiiiiiiiiii... warung yang nyediain buat berbuka jaohhhhhh lebih ramai. Sebutlah Ayam Resto, hari biasa parkiran kendaraan masih bisa bersusun indah, namun saat ramadan dan menjelang berbuka area parkir di ubah menjadi tempat makan lesehan dadakan.

Kami sekeluar biasanya kalau berencana buka di luar memilih untuk kelayapan setelah magrib, akan terasa lebih tenang.

Juga  penjual aneka snack dadakan akan terlihat di beberapa tepi jalan.

Beberapa hari yang lalu di berita sempat heboh tentang penjual nasi yang kena rajia satpol PP. Begitu banyak pro dan kontra tentang hormat menghormati dan juga tentang pencari nafkah.

Saya mungkin termasuk aliran yang netral, mau di larang ya monggo nggapun tak apa-apa. Hanya saja memang sebaiknya di mana bumi di pijak di situ langit di junjung bukan? Pemerintah setempat tentu bukan dari pemikiran semalam dua malam ketika kebijakan itu di buat.

170716

#OneDayOnePost

Jun 16, 2016

Pamit tanpa permisi

Rencananya aku mau beli buah buat persiapan buka. Jarak yang di tenpuh sekitar 2km. Anak-anak sudah pada makan, karna mereka sedang dalam masa penyembuhan dan biar virus flu singapore nya tidak tambah menyebar mereka sengaja aku umpetin di rumah saja.

Saat mau pergi di rumah sedang ada tukang, benerin kran air yang ambrol. Aku hanya mendapati si bungsu Alfie. Akupun pamit padanya, lupa kalau saya masih punya bocah yang berusia 8 tahun sedang asik bermain di toko.

Rencananya memang tidak sekedar beli buah tapi ke klinik skin care. Sudah berbulan-bulan rasanya wajahku belum terkena sentuhan tangan dari mba mba cantik di sana. Sebenarnya tidak terlalu doyan banget ke tempat beginian, tapi sekali-sekali bolehlah. Paling suka totok wajah plus pijetannya, ngeluarin komedo yang numpuk dan tentu saja bisa nyuri-nyuri tidur siang di area bebas hambatan.

Beragkat dari jam 1 sampai jam 3 an. Tetiba di rumah si sulung Rafa langsung ngamuk, mamanya hilang tanpa kabar, ngga ijin, dan tak ada pula pesan dan kesan. Laksana tentara pasukan power rangers, Rafa memberondongiku dengan berbagai intruksi sebagai emak yang paling berdosa se angkasa raya.

Sang emak sudah minta maaf, nawarin segala macam penebusan dosa, meluk-meluk, ngasih kesempatam dia buat ngomel sampai puas, dan lain sebagainya masih tidak mempannn. Sepanjang kegiatannku memasak diiringi alunan syahdu tangisan Rafa yang keluar masuk dapur, duduk di meja makan nyalahin si emak, keluar, masuk lagi dan keluar lagi masih dengan isakannya.

Berlangsung hingga menjelang beduk magrib. Sang emak di minta berjanji dan berikrarrr tidakkk boleh ngulangin lagi.

Ini adalah kali kedua saya lupa pamit sama dia saat mau menghilang. Kali pertama saat ke warung buat belanja, masih satu area dan nasib sayapun sama di tangisin berjam jam lamanya, lebih panjang tangisannya di bandingkan masa kelayapan emaknya. Bukan karna jarak tempuh ataupun berapa lama sang emak pergi tapi pergi tanpa bilang bilang itu bagi Rafa sangat memilukan melebihi penderitaan perang dunia ke dua.

Sejak kecil saat mau pergi atau siapapun yang mau pergi semisah papanya, aku selalu bilang jujur padanya dan menjelaskan ada saatnya dia tidak bisa turut serta walaupu  kadang itu sangat berat. Pergi dengan sebuah tangisan atau amukan sudah biasa tapi lama kelamaan dia faham.

Tangisan adalah bentuk dari kesedihan mereka di tinggal tapi mereka tentu lebih senang orang tuanya tidak membohonginya dengan mengatakan hal-hal yang aneh saat mereka tidak bisa turut serta.

Jujur di depan walau kadang pait tentu melegakan dari pada nyenengin tapi ketahuan ngibulnya.

16june2016

#latepost #OneDayOnePost