Nov 30, 2017

Tukang Kredit (Part 2)

Saya sedang ke pusat perbelanjaan naik motor bersama dua bocah. Harus menyeberang jalan dengan posisi satu anak berusia 5 tahun dalam gendongan, satu tangan lagi memegang erat pergelangan si sulung. Jalanan cukup ramai dan cukup kerepotan untuk menghentikan kendaraan yang berlalu lalang. Para petugas parkir terlihat acuh tak acuh walau mereka sedang tidak ada kesibukan.

Beberapa hari kemudian, bersama kerabat ke tempat perbelanjaan yang sama. Hanya saya yang turun karena suatu keperluan. Saat ingin menyeberang, seorang petugas parkir dengan sigap mengawal saya menyeberang  hingga tiba di tempat tujuan dengan 'selamat.' Padahal jalanan tampak lengang. Ketika pulang, pintu mobil dibukakan bak putri raja. Saya tidak gila hormat bahkan rasanya risih diperlakukan seperti itu. Kendaraan dijaga agar keluar parkiran dengan aman. Mobil yang mengantar saya itu mungkin masuk kategori mewah, tetapi cicilannya baru akan lunas lima tahun kemudian. Dengan catatan jika angsurannya tak ada kendala.

Lihatlah, betapa penampilan bisa membuat perlakuan seseorang bisa berubah 180 derajat. Kemudian orang berlomba-lomba menampilkan sisi terbaiknya. Agar diterima di sebuah komunitas dan meningkatkan rasa percaya diri. Mungkin juga sebagai penghormatan untuk orang yang mengundang. Semisal bertamu ke istana negara, apa iya bersandal jepit (padahal sandal ini sandal paling nyaman dan anti air). Bisa-bisa baru masuk halaman saja sudah kena rajia :D

Suatu ketika saya yang anak ndeso dengan kuku hitam berpenampilan lusuh bertandang ke sebuah rumah. Cukup mewah di antara rumah-rumah lain. Semula saya senang bisa melihat dan merasakan langsung barang-barang yang tidak ada di rumah kami.  Tetapi, Sikap mereka sangat dingin, terkesan menjaga jarak. Saya seperti patung, untuk tertawa lepas saja  tidak bisa. Kurang sopan. Tidak nyaman. Setelah itu, jangankan berkunjung, diundang saja rasanya enggan. Untuk apa? Agar mereka puas menginjak kenistaan saya? Atau jadi babu dadakan yang bisa disuruh-suruh?

Tidak jauh dari area tersebut terdapat rumah besar, namun sudah lapuk dan mungkin kena beliung seketika roboh. Mereka menempati rumah tersebut karena harga sewa yang murah. Setiap hujan, gemericik air membasahi lantai, kasur, kursi dan perkakas lainnya. Ajaib, kami bisa tertawa bahagia berkecipak di sana. Saya diterima dengan hangat dan diperlakukan sangat baik. Mereka selalu menyuguguhkan makanan  apapun yang mereka punya dengan senyuman keikhlasan walau hanya sebatas gorengan dingin. 

Saya sering menginap dan sering menjadikan rumah tersebut sebagai tempat tinggal kedua. Diterima apa adanya dan diperlakukan layaknya keluarga adalah sebuah kemewahan. Tidak semua orang memiliki kelapangan hati serupa samudra, begitu tenang di permukaan namun memiliki ribuan mutiara di kedalaman. Menerima siapa saja yang datang tanpa melihat perbedaan. Saya saja masih belum mampu, kadang masih terkecoh dengan balutan luar, kemudian memperlakukan mereka secara berbeda, apalagi kalau hati sedang tidak suka.

Kembali ke rumah yang dianggap mewah tersebut. Beberapa bulan kemudian, debt colector menghampiri. Pecahlah perang. Jadi bahan gosip sejagad raya. satu persatu barang harus lepas karena jaminan. Malu, tentu saja. Si empunya rumah akhirnya memilih pindah entah kemana.

Di sudut kota lain. Sebuah perusahaan jasa ternama. Ia memiliki cabang dimana-mana. Ketenarannya hanya hitungan tahun. Kerabat kami kebetulan bekerja di bank pemerintah, tempat pengusaha tersebut meminjam modal, bercerita. Sang pengusaha kesulitan melunasi hutang yang bunganya terus menumpuk. Ia sakit-sakitan, kemudian meninggal. Dalam sekejap perusahaannya bangkrut, namanya tenggelam.

Dari wilayah yang sama. Seorang bapak bertandang ke tempat kediaman kerabatnya. Mukanya kusut, badannya aut-autan, pancaran matanya begitu redup. Depresi tingkat akut. Habis bertengkar dengan istri yang tidak mau menjual rumahnya, sedangkan pinjaman di bank sudah berbulan-bulan tidak bisa dilunasi.

Ia memohon dan mengiba dengan sangat, agar dipinjami uang untuk menutupi bunga. Agar bisa bernapas paling tidak untuk sebulan ke depan. Walau bulan berikutnya entah apa yang akan terjadi. Dulu, ketika meminjam di bank, usahanya sedang berada di atas angin. Rumah mereka kecil namun memiliki tanah yang kosong. Dengan kemantapan hati dan pertimbangan usaha yang terus maju, mereka memperluas tempat tinggal. Kemudian usaha merosot. Berbulan-bulan ia seperti kehilangan arah, kesana ke mari mencari penutupan. Bahkan untuk makan sehari-hari saja kesusahan.

Dan masih banyak lagi ... dan masih banyak lagi.

Hutang membawa nikmat sesaat, sengsaranya sepanjang hayat. Tidak ada orang  benar-benar bahagia selama ia memiliki pinjaman. Serupa serabut menjerat kaki, perut dan kepala. Semakin banyak hutang seseorang semakin erat ia melilit. Bersenang-senang dan abai dengan tanggungan, jeratan itu akan berpindah ke lehernya.

Nov 26, 2017

Tukang Kredit

Ibu saya dari keluarga sangat sederhana dan kolotan. Dulu saya pernah lihat beliau memakai kalung dengan bandulan berhiaskan batu-batu kecil yang mulai usang. Di sela-selanya terdapat noda hitam. Sebuah cincin kecil dan sepasang giwang berbentuk daun.

Beliau tidak suka ikut arisan. Tidak pernah terdengar tukang kreditan yang menagih apa-apa. Karena memang tidak suka membeli barang-barang secara kredit. Bahkan rasanya tidak pernah berhutang, beliau lebih suka mengumpulkan entah di mana kemudian dikeluarkan kembali untuk hal-hal yang tidak bisa dipenuhin bapak. Tidak pernah berurusan dengan administrasi perbank an. Dan hanya bisa memencet tombol gawai untuk menerima telepon.

Beliau tipe ibu rumah tangga yang mengabdikan diri untuk suami dan keluarga.

Mungkin kebiasaan itu sedikit banyak turun pada anaknya. Saya tidak suka arisan. Dulu waktu sekolah pernah ikut-ikutan karena diimingi sesuatu yang menggiurkan. Tapi sungguh itu melelahkan. Menunggu dapat arisan dengan perasaan harap-harap cemas. Apalagi pas lagi butuh banget, pengharapannya sudah tingkat dewa. Eh pas giliran sudah dapat, rasanya kok berat ya bayarin sissanya. Bener-bener pekerjaan yang tidak mengasikkan.

Pernah lagi ikut dengan pangguyuban ibu-ibu anak-anak sekolahan. Endingnya sangat menyesakkan. Kalaupun sekarang ikut di perkumpulan ibu-ibu PKK lebih ke sosial. Anggap saja bantuin tuan rumah yang menyediakan tempat dan snacknya. Dapatnya juga kurang lebih segitu. Jadi enggak ada pengharapan yang tinggi.

Dan tentang kreditan, saya pengen bilang "bukannya sombong" haish .. ini aslinya sombong terselubung tapi enggak mau bilang-bilang. Sejak saya bisa megang uang, sampai tulisan ini tayang, saya belum pernah sekalipun beli barang kreditan. Saya memilih menahan diri untuk memiliki sesuatu. Jika barang tersebut tidak akan membuat saya mati dengan tidak memilikinya, saya akan mengabaikannya atau mancari saat yang tepat untuk memiliki.

Sayapun sedang belajar memilah mana yang elok buat di publish mananyang kurang patut. Untuk apa? Apalagi barangnya masih cicilan. Atau yang di pertontonkan hanyalah semu. Tidak apa-apa mereka mengira saya kere dan tidak punya apa-apa (kadang memang demikian aslinya) itu lebih membahagiakan daripada punya apa-apa  setiap bulan nyesek mikirin tagihan. Tidak apa-apa kemana-mana jalan kaki, naek angkot atau tumpakannya mobil butut. Tapi hati adem, pikiran tenang dan perut kenyang, horeee ... (ini paling utama).

Saya juga berusaha menghindari komunitas-komunitas yang membuat saya tidak nyaman. Semisal harus berpenampilan eksklusif, bawa barang-barang bagus, kalau enggak dandan bakal malu-maluin. Kalaupun harus berada di sana, biasanya hanya bisa bertahan sebentar. Untuk apa memaksakan diri berada di kalangan elito tapi harus memakai topeng. Tempat yang nyaman itu seperti rumah. Bisa menjadi diri sendiri dan tertawa dari hati. Teman sejati tidak akan mengontrol hidup temannya, tapi dia akan selalu berada di sisinya dalam tawa ataupun duka

Nov 19, 2017

Jangan Pernah Menawar

Pagi masih merekah. Di pertigaan sebuah jalan besar, tampak bapak-bapak menggelar lapak dagangan. Aneka sayur dan buah-buahan segar. Beralaskan karung plastik. Beberapa masih utuh di dalam sebuah bakul. Kulit mereka legam, dengan tubuh kurus.

 Seorang ibu sedang sibuk memilih beberapa petai dan menanyakan harga. Saat bapak itu menjawab tentang sebuah harga, sang ibu melonjak kaget, “Petai layu begini kok mahal sih, Pak!” ucap sang ibu. Tergambar sangat jelas raut kesedihan di wajah sang penjual. Si  ibu itu serta merta mencari pembenaran kepada saya, “iya kan, Mbak? Layu gini masa dikasih harga segini,” ucapnya lagi.

Saya yang melihat petai itu amat sangat hijau tentu saja otomatis menolak, “Enggak bu, itu masih sangat segar,” ucap saya lagi. Si ibu mengedip-ngedipkan mata supaya saya paham dan membantu. Maaf, saya tidak kenal anda juga si pedagang, saya hanya mengikuti apa kata hati saya.

Beberapa kali memang saya berbelanja di pertigaan itu. Pernah suatu kali bertanya dari manakan buah-buahan dan sayur itu didatangkan. Dari penuturannya,  semua dipetik dari perkebunan di Boyolali. Mungkin bukan dari perkebunan mereka sendiri, ada beberapa dari kerabat atau orang sekitar. Setiap bulan dagangan mereka bisa berganti-ganti, tergantung musim yang sedang panen. Mereka mengangkut menggunakan bus antar kota.

Mari kita hitung mundur. Mereka telah tiba di sana sekitar jam 7 pagi. Itu  berarti  dari Boyolali sendiri sekitar jam 6. Tentu mereka harus menyipakan dagangan terlebih dahulu sebelum diangkut, anggaplah jam 5. Belum lagi kalau mereka memetik sendiri dan lain sebagainya. Mereka akan pulang saat dagangan habis. Kalau tidak habis biasanya menjelang siang akan di jual dengan harga di bawah standar. Berapakah kira-kira keuntungan yang mereka peroleh?

Iya bu, saya sangat paham. Kita sebagai ibu rumah tangga harus jeli memanajement keuangan agar tidak besar pasak daripada tiang. Harus pinter-pinter memilah mana yang dibeli dan mana yang tidak. Benar, kalau dapat harga murah, kenapa harus beli yang mahal kalau kuwalitasnya sama-sama bagus. Kalau bisa nawar dan menekan harga serendah-rendahnya, kenapa harus pasrah saat seorang pedagang seperti mereka masih bisa diajak negosiasi.

Tapi bu ... iya tapi, pernahkah kita berpikir, mereka hanya pedagang kecil. Perjalanan untuk sampai menemui pembeli itu sungguh bagi mereka tidak mudah. Mereka tidak punya karyawan yang bisa membantu mereka saat lelah di perjalanan. Mereka tidak bisa memanajement waktu dan keuangan secara pasti karena mereka menghitung hanya lewat perasaan dan pikiran. Kadang Bu.. iya, kadang, kalkulator saja mereka tidak punya, apalagi smartphone dengan aplikasi canggih untuk menghitung segala usaha mereka.

Iya, saya paham banget. Pedagang-pedagang kecil itu kadang mukanya judes, senyumnya kurang. Adakalanya barang-barangnya sudah tidak layak. Atau di permukaan bagus, tapi di dalam jelek. Tettapi, pedagang besar juga sama. Mereka juga sering melakukan kecurangan, mereka juga ada yang judes. Jangan pernah pukul sama rata pedagang kecil itu curang. Andai mereka sudah jadi pedagang besar, mereka pasti sudah ogah jualan di pinggir-pinggir jalan. Kalaupun keberatan dengan harga yang mereka tawarkan, ataupun dagangannya tidak kita sukai, sudah tinggalkan saja. Tidak perlu lagi mengomentari apalagi melontarkan kata-kata pedas untuk menyakiti mereka.

Yang saya khawatirkan, kalau mereka sudah melek tekhnologi, bisa dibayangkan, mereka tidak akan mau lagi mangkal di pertigaan dan harus menghadapi pembeli-pembeli yang cerewet seperti kita ini. Lebih dari itu, mereka akan mendoktrin keturunan-keturunan mereka untuk jangan pernah jadi pedagang kecil seperti mereka apalagi petani. Sungguh, sudah caranya melelahkan, terus sering dizolimin pula. Enak itu di supermarket, tidak ada yang berani nawar. Pemilik bisa jalan-jalan, dan usahanya pun tetap berjalan.

Bagaimana kalau sudah tidak ada lagi yang mau berkebun? Tidak ada lagi yang mau jadi petani? Terus kita makan-makanan import gitu? Saya mah ogah. Saya masih suka buah sirsak yang ditanam di bumi Indonesia. Saya masih suka mangga harum manalagi, yang sengir dan teman-temannya itu. Saya tidak terlalu menyukai anggur australia, banana entah dari mana. king banana (baca; pisang raja) is de best, juga pisang ambonnya yang dari Tawang mangu, itu sungguh tiada duanya. Salah pondok? Itu buah eksotis pakai banget. Apel malang? Apel paling enak se angkasa raya. Beras rojolele? Aw .. ini beras sangat enak dan enggak ngebosenin, tidak tergantikan oleh beras vietnam ataupun basmatinya ala-ala luar sana.

Mari lindungi para petani-petani juga pedagang-pedagang kecil. Sejahterakan dan bahagiakan mereka selalu.

Salam dari anak mantan pedagang kecil :)

Masih Tentang Asap

Saya dari keluarga perokok. Om-om saya perokok. Mbah-mbah saya juga masih sangat aktif merokok. Sahabat dan teman-teman saya merokok. Demi Allah saya tidak membenci mereka. Saya berhubungan baik sebagaimana mestinya. Tidak sekalipun mengungkit tentang kebiasaan mereka kecuali dimintai pendapat. Hanya saja, kalau bersama khususnya ketika bersama anak-anak, secara halus saya akan meminta mereka  untuk berhenti sejenak atau mencari tempat lain. Pun kalau itu terlalu berat, maka sayalah yang berkewajiban melindungi anak-anak untuk mencari tempat yang lebih aman.
           
Dulu waktu kang mas masih sangat aktif merokok, sekalipun saya tidak pernah melarangnya. Hanya pernah menyembunyikan saja batangan-batangan rokok itu dari rumah. Sungguh kamar mandi dengan aroma rokok itu tidak enak sekali. Kalau dia ingin merokok saya minta dengan hormat untuk mencari tempat yang jauh asapnya dari jangkauan anak-anak. Dan tentu saja setelah itu, bajunya harus ganti.

 Cerewet, ribet? Tidak juga. Tidak seberapa kalau salah satu atau salah banyak anggota keluarga harus masuk rumah sakit efek dari asap ini. Enggak enak hati? Kadang-kadang. Tapi saya harus membiasakan diri. Kelak saat anak-anak saya sudah tumbuh mendewasa, hanya doa yang saya bisa kirimkan agar mereka bisa menjaga diri dan hati mereka.

Jangan pernah meminta perokok untuk berhenti. Serupa menabur garam di lautan, tidak akan mempan. Hanya kesakitan teramat parah dan kematian yang bisa menghentikan mereka.