Setiap keluarga pasti punya pertimbangan tersendiri ketika memilihkan sekolah buat anaknya. Namun satu jawaban utama yang sama, semua menginginkan yang terbaik.
Sebelum masuk sekolah dasar, kebetulan ananda Rafa berusia 6 tahun 1 bulan. Dia aku tawarin mau tetap di taman kanak-kanak setahun lagi apa masuk SD. Dia menjawab mantap kepengen SD. Dia juga udah ta wanti-wanti kalau SD ngga boleh telat, dan bermainnyapun ngga sebanyak waktu TK.
Ada beberapa jenis sekolah yang aku tawarkan padanya, setelah di seleksi dan konsultasi bersama suami tentunya.
Pertama, SD Negeri yang letaknya hanya beberapa meter dari rumah. Masuk setengah delapan pagi pulang awal, tapiiiii... sore kudu wajib TPA, ngga boleh tidak.
Kedua, SDIT. Masuk pagi pulang sampai sore, ngga perlu TPA lagi.
Ketiga, SD Islam tanpa T alias pulangnya masih jam 11an.
Dan di ambillah keputusan pilihan yang terakhir, pertimbangannya di lihat dari:
1. Karakter si anak
Rafa tidak suka berada di sekolah terlalu lama. Dia anaknya gampang bosanan apalagi kalau tempatnya itu-itu aja. Dia lebih senang sesuatu yang mengarah ke olah fisik dan praktik langsung. Dia hanya fokus di mata pelajaran yang di senengin. Kalau ngga disenengin bejimanapun di bujuk rayu, susyahhhh...
2. Karakter kondisi keluarga
Kasarnya sih salah satunya tentang perekonomian. Sekolah elito dengan penunjang sana sini tapi pas bayaran ortunya megap-megap, kan nyesekkk banget, walaupun semisal anak bahagia sentosa di sana.
Nah kebetulan ekonomi kami ini susah di tebak. Berhubung wiraswasta jadi pendapatan kadang di atas, kadang di bawah, kadang nyungsep entah kemana. Kami juga harus siap-siap semisal ekononi memang sedang memprihatinkan, tapi anak-anak tetap mendapatkan pendidikan yang layak. Lagi pula dia masih sekolah dasar, semisal biayanya udah nyaingin perguruan tinggi, rasanya sayang banget.
Pernah suatu ketika di komporin ma mak emak lain "mbakyuu.. demi anak-anak carilah sekolah yang terbaik, ini investasi jangka panjang lho.. masa kita bisa beli kendaraan tapi nyekolahin anak di tempat yang biasa-biasa aja"
Uhukss... mahaf saya mah kagak mempan digituan. Tak maulah sekolah anak sing mentereng tapi entar makannya pake nasi kuah garem doank. Besok bisa jajan, 29 hari kemudian puasa. Jadi kudu win win solution. Anak sekolah, tapi perekonomian keluarga tetap terjaga, damai amann dan sejahtera.. dan semuapun gembira, horeeee...
3. Karakter Sekokahan
Ini masih berhubungan dengan kedua hal tersebut di atas dan tambahnnya adalah Jarak tempuh.
Anak-anak kalau di anter memang cuman nangkring doank sambil menikmati pemandangan alam, tapi itu tetap menguras tenaga. Terlalu jauh bikin si anak capek, jenuh dan yang nganterpun tepar. Targetku tidak boleh lebih dari 3km dari jarak rumah.
Kan ngga lucu banget, sekolah harganya terjangkau, kualitasnya apik, anak juga suka, tapi letaknya di ujung lembah melewati bukit berbatu, berkelok dan lurus lagi entah di mana.
Kalau bisa udah ada rekomendasi dari orang-orang terdekat yang pernah menyekolahkan anaknya di sana bahkan sampai lulus. Minimal 3 keluarga.
Me: "Rafa lebih suka sekolah waktu Tk apa Sd sekarang?"
Rafa: "Yang sekarang, Ma!" Jawabnya mantap.
Me: "kenapa emangnya?"
Rafa: "Temennya banyakkkkk...!"
Waktu TK Rafa sekelas cuman blas blasan orang di ampu 2 guru. Sekarang 38 murid dengan 1 guru. Tapi dia seneng asalllll... ojo suwe suwee.. kalau kelamaan dia bakalan ngamuk di rumah.
Tidak ada hal yang muluk banget aku targetkan dari ananda Rafa ketika dia sekolah. Harapanku dia bahagia sekolah, senang belajar, berkawan dengan baik dan menghormati gurunya. Semoga pegalaman dan Ilmu yang dia peroleh selama sekolah membawa kebaikan dan manfaat untuknya kelak.
Setiap anak pintar dan membawa bakat serta rejekinya sendiri-sendiri. Semoga dia mempersembahkan sisi terbaik dari pribadinya. Semoga ya nak..
#OneDayOnePost
Sebelum masuk sekolah dasar, kebetulan ananda Rafa berusia 6 tahun 1 bulan. Dia aku tawarin mau tetap di taman kanak-kanak setahun lagi apa masuk SD. Dia menjawab mantap kepengen SD. Dia juga udah ta wanti-wanti kalau SD ngga boleh telat, dan bermainnyapun ngga sebanyak waktu TK.
Ada beberapa jenis sekolah yang aku tawarkan padanya, setelah di seleksi dan konsultasi bersama suami tentunya.
Pertama, SD Negeri yang letaknya hanya beberapa meter dari rumah. Masuk setengah delapan pagi pulang awal, tapiiiii... sore kudu wajib TPA, ngga boleh tidak.
Kedua, SDIT. Masuk pagi pulang sampai sore, ngga perlu TPA lagi.
Ketiga, SD Islam tanpa T alias pulangnya masih jam 11an.
Dan di ambillah keputusan pilihan yang terakhir, pertimbangannya di lihat dari:
1. Karakter si anak
Rafa tidak suka berada di sekolah terlalu lama. Dia anaknya gampang bosanan apalagi kalau tempatnya itu-itu aja. Dia lebih senang sesuatu yang mengarah ke olah fisik dan praktik langsung. Dia hanya fokus di mata pelajaran yang di senengin. Kalau ngga disenengin bejimanapun di bujuk rayu, susyahhhh...
2. Karakter kondisi keluarga
Kasarnya sih salah satunya tentang perekonomian. Sekolah elito dengan penunjang sana sini tapi pas bayaran ortunya megap-megap, kan nyesekkk banget, walaupun semisal anak bahagia sentosa di sana.
Nah kebetulan ekonomi kami ini susah di tebak. Berhubung wiraswasta jadi pendapatan kadang di atas, kadang di bawah, kadang nyungsep entah kemana. Kami juga harus siap-siap semisal ekononi memang sedang memprihatinkan, tapi anak-anak tetap mendapatkan pendidikan yang layak. Lagi pula dia masih sekolah dasar, semisal biayanya udah nyaingin perguruan tinggi, rasanya sayang banget.
Pernah suatu ketika di komporin ma mak emak lain "mbakyuu.. demi anak-anak carilah sekolah yang terbaik, ini investasi jangka panjang lho.. masa kita bisa beli kendaraan tapi nyekolahin anak di tempat yang biasa-biasa aja"
Uhukss... mahaf saya mah kagak mempan digituan. Tak maulah sekolah anak sing mentereng tapi entar makannya pake nasi kuah garem doank. Besok bisa jajan, 29 hari kemudian puasa. Jadi kudu win win solution. Anak sekolah, tapi perekonomian keluarga tetap terjaga, damai amann dan sejahtera.. dan semuapun gembira, horeeee...
3. Karakter Sekokahan
Ini masih berhubungan dengan kedua hal tersebut di atas dan tambahnnya adalah Jarak tempuh.
Anak-anak kalau di anter memang cuman nangkring doank sambil menikmati pemandangan alam, tapi itu tetap menguras tenaga. Terlalu jauh bikin si anak capek, jenuh dan yang nganterpun tepar. Targetku tidak boleh lebih dari 3km dari jarak rumah.
Kan ngga lucu banget, sekolah harganya terjangkau, kualitasnya apik, anak juga suka, tapi letaknya di ujung lembah melewati bukit berbatu, berkelok dan lurus lagi entah di mana.
Kalau bisa udah ada rekomendasi dari orang-orang terdekat yang pernah menyekolahkan anaknya di sana bahkan sampai lulus. Minimal 3 keluarga.
Me: "Rafa lebih suka sekolah waktu Tk apa Sd sekarang?"
Rafa: "Yang sekarang, Ma!" Jawabnya mantap.
Me: "kenapa emangnya?"
Rafa: "Temennya banyakkkkk...!"
Waktu TK Rafa sekelas cuman blas blasan orang di ampu 2 guru. Sekarang 38 murid dengan 1 guru. Tapi dia seneng asalllll... ojo suwe suwee.. kalau kelamaan dia bakalan ngamuk di rumah.
Tidak ada hal yang muluk banget aku targetkan dari ananda Rafa ketika dia sekolah. Harapanku dia bahagia sekolah, senang belajar, berkawan dengan baik dan menghormati gurunya. Semoga pegalaman dan Ilmu yang dia peroleh selama sekolah membawa kebaikan dan manfaat untuknya kelak.
Setiap anak pintar dan membawa bakat serta rejekinya sendiri-sendiri. Semoga dia mempersembahkan sisi terbaik dari pribadinya. Semoga ya nak..
#OneDayOnePost