May 13, 2016

Menjelang hari ke 6 part 2: Tragedi Kepiting Berdarah

Suhu tubuh Rafa kembali normal, tapi berat badannya nyungsep ke angka sangat rendah. Entahlah berapa kilo timbangannya sekarang. Kurus, tulang tubuhnya terlihat lebih menonjol, apalagi saat dia melepas semua pakaian. Mukanya pias, matanya masih sangat sayu.

Pagi-pagi aku membawa semua uang belanjaan, entah apa yang akan terbeli, di otakku hanya ada satu, aku akan memasak semua makanan ke sukaan Rafa. Aku harus mengembalikan lemak-lemak di tubuhnya yang telah raib entah kemana.

Ku pacu motorku menyusuri dinginnya pagi. Di toko ikan, aku melihat tumpukan cumi, udang dan aneka lauk. Yeah, Rafa penggemar makanan laut, terutama udang dan cumi. Masing-masing setengah kilo. Sementara ibu penjual ikan sibuk membersihkan pesenanku, aku melangkah ke tempat selanjutnya, berburu sayur manyur dan bumbu dapur.

Di sebuah lapak ikan lain, mataku menangkap tiga ekor kepiting yang sudah terikat, menandakan kepiting itu masih hidup. Aku ingat, Rafa sangat ingin makan kepiting. Terakhir kali makan kepiting di Pantai Baron, sayang kepiting yang di masak adalah freezer, dan rasanya cukup mengecewakan.

Tidak mudah mencari kepiting hidup di Solo, biasanya harus memesan terlebih dahulu, dan tentu harganyapun di atas rata-rata. Di restoran seafood harganya mencapai 300-400k untuk satu porsi.

Sempat ragu mendekat, tapi demi melihat kebahagiaan di wajah ananda, kuberanikan diri bertanya.
"Kepitingnya berapa bu?"

"Sekilonya enampuluh ribu"

Aku sempat mikir, sekilo itu kira-kira berapa biji yah? "Coba timbang satu ini bu" pintaku kemudian. Dengan segera Ibu penjual ikan manimbang se-ekor kepiting.

"Tujuh ribu lima ratus" jawabnya lagi

Berarti ngga mahal-mahal banget "aku minta dua ekor aja bu"

"Tiga ekor sekalian, dua puluh ribu aja gimana"

Okey deal. Uhm, Rafa pasti senang melihatnya. Setelah semua beres ku tunjukkan padanya, Rafa sangat sumringah. Mas kukuh yang melihat 3 ekor kepiting sempat kaget juga, tumben ada kepiting agak murahan.

Beberapa menit si kepiting jadi mainan anak-anak sebelum di eksekusi. Alfie geli-geli takut memegang puggung kepiting. Tibalah saatnya..

"Mau di potongin?" mas Kukuh menawarkan bantuan.

"Tidak usah pa" beberapa tahun yang lalu aku pernah mebersihkan kepiting, rasanya tidak susah-susah banget. Sepertinya ada bagian yang mudah di buka untuk membuang kotorannya.

Beberapa saat kepiting aku bolak balik dengan menggunakan pisau, mencari bagian yang bisa di buka itu. Pisauku sempat di capit kepiting dengan sangat kuat. Terus saja ku bolak balik, rasanya di manaaa yah..? Terusss ku bolakkk... balikkkk... dan tanpa sadar ibu jariku mendekat capit kepiting dan happppp..... "awww...arghhh..  aaaaaaa......"

Capit kepiting tepat mencengkram ibu jariku, sangat kuatttt, semakin ku tarik semakin kencang dia menancapkan capitnya. Ohhhh tidakkkkkk sakitttt... rasanya menyentuh tulang jari "papaaaaaaaaaa......"

Mas kukuh yang mendengar kerusuhan di dapur langsung menghampiri, sorot matanya menggambarkan "kenapa tadi menolak di bantuin?!"

Aku merintihhhh kesakitan tiada kira, capit itu semakin dalam menancap di daging jariku tanpa ampun. Kalau aku tarik otomatis akan merobek lapisan kulitku, seperti di silet pelan pelan dan berhenti dengan pisau tertancap. Aku tidak tau lagi harus berbuat apa, selama beberapa saat terus saja capitnya mencengkram. Ku penjamkan mataku saat mas kukuh berusaha melepaskan capitnya, hingga dia bilang "ayo di tarik maju!"

"Tidak bisa mas, sakitttttt..."

"Lihatt... udah mulai ke buka"

Ku beranikan diri membuka mata, dan langsung ku geser. Darah segar mengucur di antara dua lubang bekas capit. Aku meronta saat mas Kukuh mengguyur jariku dengan obat merah. Ku hentak-hentakkan kaki ke lantai, dan bersembunyi di balik punggung mas kukuh "Sakitttt... sakittttt, mas"

Sang kepiting langsung di mutilasi menggunakan tang. Aku ke kasur dan menghidupkan kipas angin. Perih menjalar di antara jari-jariku. Seperti di gerogoti ikan piranha, walau aku sendiri tidak pernah tau rasanya di makan ikan itu (naujubillah, jangan sampai)

Aku menangis meraung-raung, perih sekali. Hanya ini yang bisa aku lakukan sebagai pelampiasan rasa sakit. Seumur-umur aku tidak pernah menjerit dan menangis sekencang ini, bahkan saat melahirkan. Terpikir di otakku "apa aku akan kena tetanus?" Dari lengan ke jari kurasakan dingin, berbeda dengan tangan sebelahnya yang hangat.

Mas Kukuh datang membawakan obat puyer Rafa, pait sekali. Tidak berapa lama kemudian, sirup entah berantah. Dia mulai memperban jariku. Sekitar setengah jam sakit mulai berkurang, dan hanya bagian ibu jari saja yang terasa perih.

Mataku terasa berat, tubuhkku lelah. Ingin sekali beristirahat dan memejamkan mata. Tapi mas Kukuh melarangku, dia takut aku pingsan. Sekuat tenaga ku cuba untuk tetap beraktivitas.

Akhirnya kepiting di masak asam manis dengan bantuan mas Kukuh, dan aku kebagian pengarah acara. Saat makan tiba, rasa sakit dan setengah trauma terobati saat melihat anak-anak makan dengan lahap.

Malam hari tiba, terbayang olehku... kan ada ulekan cobek dari batu, kenapa tidak langsung aku benturin saja si predator itu, aaarrrgghhh.... aku juga baru ingat, kepiting yang aku bersihkan dulu adalah kepiting yang sudah mati.

Kalau ada apapun, kata-kata di buku atau gambarnya aku selalu mengganti predator itu dengan sebutan 'lobster'

#OneDayOnePost
#EdisiCeritaBersambung

No comments: