Jun 16, 2016

Pamit tanpa permisi

Rencananya aku mau beli buah buat persiapan buka. Jarak yang di tenpuh sekitar 2km. Anak-anak sudah pada makan, karna mereka sedang dalam masa penyembuhan dan biar virus flu singapore nya tidak tambah menyebar mereka sengaja aku umpetin di rumah saja.

Saat mau pergi di rumah sedang ada tukang, benerin kran air yang ambrol. Aku hanya mendapati si bungsu Alfie. Akupun pamit padanya, lupa kalau saya masih punya bocah yang berusia 8 tahun sedang asik bermain di toko.

Rencananya memang tidak sekedar beli buah tapi ke klinik skin care. Sudah berbulan-bulan rasanya wajahku belum terkena sentuhan tangan dari mba mba cantik di sana. Sebenarnya tidak terlalu doyan banget ke tempat beginian, tapi sekali-sekali bolehlah. Paling suka totok wajah plus pijetannya, ngeluarin komedo yang numpuk dan tentu saja bisa nyuri-nyuri tidur siang di area bebas hambatan.

Beragkat dari jam 1 sampai jam 3 an. Tetiba di rumah si sulung Rafa langsung ngamuk, mamanya hilang tanpa kabar, ngga ijin, dan tak ada pula pesan dan kesan. Laksana tentara pasukan power rangers, Rafa memberondongiku dengan berbagai intruksi sebagai emak yang paling berdosa se angkasa raya.

Sang emak sudah minta maaf, nawarin segala macam penebusan dosa, meluk-meluk, ngasih kesempatam dia buat ngomel sampai puas, dan lain sebagainya masih tidak mempannn. Sepanjang kegiatannku memasak diiringi alunan syahdu tangisan Rafa yang keluar masuk dapur, duduk di meja makan nyalahin si emak, keluar, masuk lagi dan keluar lagi masih dengan isakannya.

Berlangsung hingga menjelang beduk magrib. Sang emak di minta berjanji dan berikrarrr tidakkk boleh ngulangin lagi.

Ini adalah kali kedua saya lupa pamit sama dia saat mau menghilang. Kali pertama saat ke warung buat belanja, masih satu area dan nasib sayapun sama di tangisin berjam jam lamanya, lebih panjang tangisannya di bandingkan masa kelayapan emaknya. Bukan karna jarak tempuh ataupun berapa lama sang emak pergi tapi pergi tanpa bilang bilang itu bagi Rafa sangat memilukan melebihi penderitaan perang dunia ke dua.

Sejak kecil saat mau pergi atau siapapun yang mau pergi semisah papanya, aku selalu bilang jujur padanya dan menjelaskan ada saatnya dia tidak bisa turut serta walaupu  kadang itu sangat berat. Pergi dengan sebuah tangisan atau amukan sudah biasa tapi lama kelamaan dia faham.

Tangisan adalah bentuk dari kesedihan mereka di tinggal tapi mereka tentu lebih senang orang tuanya tidak membohonginya dengan mengatakan hal-hal yang aneh saat mereka tidak bisa turut serta.

Jujur di depan walau kadang pait tentu melegakan dari pada nyenengin tapi ketahuan ngibulnya.

16june2016

#latepost #OneDayOnePost

No comments: