Oleh: Raida
Kartini baru saja lulus sekolah Europeesche Lagere School (Sekolah Dasar untuk orang Eropa. Usianya belum genap 13 tahun. Ia ingin sekali melanjutkan pendidikan, akan tetapi ditentang oleh ayahnya dan diperintahkan untuk menjalani masa pingitan. Masa dimana perempuan diwajibkan untuk tinggal di rumah saja. Namun, Kartini adalah wanita cerdas. Dinding rumah tidak menghalanginya untuk tetap belajar, berkarya, dan bermanfaat khususnya bagi kaum perempuan. Pemikirannya yang kritis serta keresahannya tentang kondisi perempuan pribumi tertuang melalui surat-surat yang ia kirimkan untuk sahabat-sahabatnya di Belanda.
Hal tersebut seakan melempar saya ke masa silam. Tentu dengan kondisi dan era berbeda. Belasan tahun lalu, tepatnya dua bulan setelah menikah, saya diboyong suami ke negara seberang. Ribuan kilometer jauhnya dari kampung halaman. Negara yang memiliki cuaca sangat ekstrim. Negara bagian Timur Tengah, Kuwait. Musim panas, suhu mencapai 60 derajat celcius. Rasanya seperti berhadapan dengan tungku api yang sedang menyala-nyala, apalagi jika harus bepergian pada siang hari.
Saat itu kami menempati apartemen berlantai enam, mereka menyebutnya flat atau hostel. Komunitas Indonesia di sana masih sangat sedikit, masih jadi golongan minoritas apabila dibandingkan dengan negara India, Bangladesh, Filipina, atau Mesir.
Tetangga sebelah kamar saya berasal dari Filipina. Walaupun bersebelahan, kami sangat jarang bertemu. Kami hanya dipisahkan tembok, akan tetapi rasanya seperti ada beton begitu lebar membentang. Saat suami harus keluar rumah untuk keperluan bekerja, saya sendirian di kamar. Terasing. Untuk keluar rumah tidak memiliki keberanian. Namun, satu hal yang sangat saya syukuri adalah jaringan internet yang sungguh luar biasa dengan harga yang sangat terjangkau. Apabila di Indonesia, khususnya daerah plosok Kalimantan sana, hanya kalangan tertentu saja yang memiliki fasilitas internet. Berbeda dengan negara Kuwait, internet adalah kebutuhan mutlak. Setiap kamar memiliki fasilitas itu dengan kecepatan mumpuni.
Kesendirian dan kesepian saya alihkan dengan memiliki sebuah blog pribadi, semacam rumah di dunia maya. Menuangkan segala keresahan, pemikiran, keunikan tinggal di negara orang, atau hanya sekadar kegiatan keseharian. Saya tidak terlalu memikirkan bagaimana tulisan itu ke depannya. Dan saya begitu berbahagia. Semacam ada sesuatu di hati terasa penuh, juga perihal berat menjadi ringan. Saya sepakat, perempuan harus memiliki banyak teman dan sahabat, serta rutin berkomunikasi karena ia perlu ‘memuntahkan’ 20.000 per hari, jika tidak ada kesempatan untuk itu, maka, menulislah, berkaryalah, atau apa pun itu yang tidak hanya membuat hatimu gembira akan tetapi memberi sedikit andil pada dunia. Mungkin seperti inilah yang dulu dirasakan Ibu kita Kartini ketika menjalani masa pingitan.
Beberapa bulan kemudian, seseorang menyapa. Siapa yang menduga kalau ia adalah sahabat sewaktu SMP. Karena dulu tekhnologi komunikasi tidak segencar sekarang, dan kami pun sudah kehilangan kontak selama bertahun-tahun karena dia bersekolah di kota besar. Bahagia tentu saja. Saya seperti berada di negara sendiri dengan terhubungnya sahabat lama. Beberapa pekan kemudian, blog saya seakan memanggil teman lainnya. Saya juga terhubung dengan kerabat-kerabat di kampung halaman. Maka, semakin penuhlah hati saya.
Tahun berganti, saya melahirkan anak pertama di negeri orang. Jauh dari keluarga, kerabat, dan saudara. Pengalaman yang sungguh tak terlupakan. Apabila di Indonesia kita terbiasa setidaknya dibimbing ibu ataupun mertua, kali ini benar-benar harus berjuang sendiri. Teman-teman sesama Indonesia menjenguk, ada pula yang membantu, tapi tentu saja mereka hanya bisa sebentar lalu kembali ke aktifitas masing-masing.
Sindrome baby blues pun menyerang. Bisikan-bisikan di luar nalar seakan menghantui. Belum lagi air susu yang tak kunjung keluar. Betapa takutnya saya dengan apa yang akan terjadi kepada bayi saya kala itu. Lalu saya beranikan diri bertanya dengan teman melalui media sosial, karena website pribadinya sangat sering menceritakan seputar dunia parenting.
Beruntungnya saya bertemu dengan teman yang baik, dan memahami saya sebagai seorang ibu muda. Dibimbingnya saya untuk memberikan asi dengan penuh kasih sayang dan sabar. Dia juga mengajak saya untuk bergabung (mailing list) pada sebuah komunitas perempuan-perempuan Indonesia yang tinggal di berbagai negara.
Seakan menemukan oase di tengah gurun sahara, seolah Kartini hidup melalui jemari-jemari mereka yang tertuang secara langsung melalui tulisan-tulisan digital mereka, juga video-video yang mereka unggah. Saya seperti ditarik dari kegelapan menuju sebuah tempat yang terang. Semua saling dukung, asah, asih, dan asuh. Banyak ilmu dan pengetahuan yang mereka bagikan, dari perihal pemikiran, seputar dapur, parenting, ataupun sekadar guyon pelepas penat sebagai ibu rumah tangga yang pekerjaannya nyaris menguras energi, pikiran, dan hati sepanjang hari.
Saya masih ingat dengan sosok Kartini lain yang tinggal di Australia. Ia memiliki beberapa anak, tanpa asisten rumah tangga. Ia bekerja dari dapur rumahnya, dan selalu berkarya. Ia rutin menceritakan kegiatanya, resep-resep warisan keluarga, juga seputar kelincahan juga keusilan putra-putrinya. Ia bahkan mempromosikan kegemarannya yang kemudian menjadikannya sebagai sumber penghasilan. Ia mengelola rumah mayanya dengan sangat baik dan penuh dedikasi. Sepertinya ia telah paham mati tentang pentingnya dunia digital. Ia terus berkarya meski hanya di rumah saja. Setiap singgah saya seperti mendapat booster semangat
Ada pula sosok Kartini lain yang tinggal di Singapura. Ia menjalankan dunia bisnis di bidang perkulineran melalui website gratisan yang ia kelola dengan sangat baik. Tidak hanya itu, mungkin ia tidak begitu memiliki sahabat di negara tempat ia tinggal, akan tetapi ia memiliki ratusan atau mungkin ribuan sahabat yang menyayangi serta mendukungnya dari seluruh penjuru dunia. Ia senang memasak dan membuat kue. Dapurnya selalu ngebul, tentu saja bukan untuk hemat semata, tetapi sebagai ungkapan kasih sayang kepada keluarga. Tak lama, ia meninggal karena sakit. Tidak hanya keluarganya yang berduka, kami yang selalu menyinggahi rumah mayanya merasa begitu kehilangan.
Saya tidak pernah terpikir sebelumnya apabila era digital bisa segencar ini, seperti peluru yang melesat begitu cepat. Apalagi di masa pandemi, digitalisasi adalah kebutuhan mutlak. Setiap kalangan seakan ‘dipaksa’ untuk bersentuhan dan terjung langsung ke lapangan.
Sungguh, jika dulu pena diibaratkan seperti pedang, maka melalui dunia digital jemari-jemari kita khususnya kaum perempuan adalah salah satu pemegang andil suksesnya peradaban di masa yang akan datang, khususnya di bidang literasi. Literasi digital tidak hanya seputar menulis, membaca, dan mengunggah sesuatu ke media, ia lebih dari itu. Literasi Digital adalah kecakapan menggunakan media digital dengan beretika dan bertanggung jawab untuk memperoleh informasi dan melakukan komunikasi. Baik di bidang ekonomi, sosial, ataupun budaya. Kita juga dituntut untuk bijak memilah antara fakta atau imajinasi semata.
Ia menjadi kebutuhan yang sangat penting karena mampu menjadikan diri kita untuk terus berpikir kritis, kreatif, dan inovatif. Hal tersebut membuat kita dapat memecahkan masalah dengan baik, dan lancar melakukan komunikasi serta sanggup berkolaborasi dengan banyak orang.
Kartini menempatkan pendidikan sebagai harga mati agar masyarakat Indonesia terus berpikiran maju khususnya bagi kaum perempuan. Oleh sebab itu setiap perempuan haruslah pengetahuan dan pendidikan luas.
Perempuan cerdas dan kuat memiliki kemampuan pondasi literasi yaang baik. Sehingga ia mampu untuk menjadi sumber inspirasi terpercaya melalui gagasan-gagasan serta pemikiran-pemikiran yang tertuang melalui media digital. Karena perempuan adalah madrasah pertama untuk putra putrinya kelak. Ialah diharapkan sebagai garda terdepan mendampingi dan mengenalkan Literasi Digital kepada buah hatinya dan masyarakat sekitanya.
Kartini adalah perempuan kebanggaan Indonesia. Kartini ada karena ia menulis dan berkarya. Kartini abadi dan terus kita kenal karena beliau tidak pernah berhenti berjuang, belajar, dan berdaya semasa hidupnya. Dulu, ia mungkin tidak pernah mengetahui apalagi membayangkan jika tulisannya akan menjadi buku sejarah yang tak pernah lekang oleh waktu.
Sungguh, daster, tembok yang tinggi, aktifitas padat sebagai sesorang istri sekaligus ibu, cuaca ekstrem, pandemi, atau apa pun itu tidak akan pernah membuat kita berhenti untuk terus kreatif dan bermanfaat bagi sesama. Mungkin sebagian atau bahkan banyak dari kita belum bisa berpenghasilan dari itu semua pada saat ini, tapi kelak karya itulah yang akan membuat kita tetap hidup saat tubuh telah tiada. Entah nanti atau seribu tahun lagi.
Selesai
No comments:
Post a Comment