Jadi kemarin, tepatnya sabtu malam saya telah membuat para security Solo Square sedikit geger, apa pasal? Begini ceritanya ....
Kami tiba di Solo Square sekitar pukul 8.30 malam. Raden kang mas berniat membeli jubah kebangsaan di area Matahari. Saya lebih tertarik membawa (baca: mangamankan) bocah-bocah ke planet Gramedia. kita berpisah tepat di depan area Aquarium bersisian dengan tangga dan eskalator.
"Bawa hape ngga?" tanya Kang Mas.
"Ngga," jawabku singkat. Memang sengaja engga bawa, batreynya sudah sekarat dan ngga mau juga nanti waktu sama bocah malah lebih tergoda nengokin gawai dari pada merhatiin bocah. "Nanti cari aja kami di area sini," balasku lagi sambil melipir menggandeng tangan Rafa dan Alfie ke area buku.
Baru beberapa langkah ada yang terasa menusuk-nusuk di perut. Aku coba tahan dan terus menyusuri rak-rak buku. Adakalanya para bocah menghilang, dan kalau hilangnya lama, aku jadi kelabakan. Harus menyisir satu persatu koridor. Ketemu si sulung, si bugsu enggak ada, ketemu lagi si bungsu eh si sulung lenyap. Sampai pojokan akhirnya bisa kumpul. Kalau tadi cuman terasa dua tusukan sesaat kemudian bertambah-tambah tak terkira. Hingga beberapa kali aku harus jongkok memeluk lutut di lantai. "Ada yang mau dibeli ngga?" rintihku sama Rafa. Ni anak malah geletakan di lantai mau baca-baca dulu. "Mama tunggu di luar ya?" Anak-anak mengangguk, tapi akhirnya ngekor di belakang.
Di luar gramedia sayangnya enggak ada tempat duduk --adanya kursi listrik sewa pijat-- Aku memilih duduk di area tangga menuju studio Film. Kami berjajar ke atas. Perutku semakin perih, keringat mulai bercucuran, saat itu yang kepikiran gimana caranya nyari kang mas, untuk berjalan saja amat kepayahan. Tanganku sudah ngga bisa lepas dari perut. Satu persatu orang yang lewat berharap diantaranya itu Mas Kukuh, yang ada orang-orang melihatku dengan tatapan yang susah digambarin. Mungkin ... mungkin lo ya, mukaku sudah serupa Bella Swann yang satu bulan belum gigit orang.
Sempat kepikiran, apa Rafa saja yang kuminta ke area Matahari dan cari papanya, alamakkk cem mana kalau dia hilang. Tidak berapa lama kemudian seorang security berbadan cukup semok, berkemeja hitam dan berrambut ala tentara itu dari kejauhan menatapku. Percayalah ... itu tatapan bukan orang yang sedang jatuh cinta, karena tidak kutemukan amore-amore di atas kepalanya tapi tatapan empati bin kasihan, mungkin tampangku serupa istrinya ketika mau melahirkan. Ia menghampiriku, "ada yang bisa kami bantu, Bu?" ucapnya sangat ramah.
"Perut saya sakit, Pak. Tapi suami lagi di Matahari dan saya ngga bawa hape, bisa minta tolong dipanggilin?" Tentu saja saya sudah tahu kalau di area matahari itu sering banget berita-berita panggilan, kehilangan sampai berita ditemukannya bocah-bocah yang terpisah dengan ortunya. Kemudian pihak security yang hitam manis itu mencatat nama mas, alamat juga nama saya.
"Apa tunggu di ruang klinik aja dulu, Bu?" tawarnya lagi.
"Jauh ngga, Pak?"
"Enggak, nanti kita pakai lift."
Di jalan saya masih meringis, sampai di lift beruntung ada kursi. Depan ruangan klinik ternyata pintu masih terkunci. Saya duduk di area warnet/game online yg tidak ada penghuninya, kebetulan lg kosong. Pak security bawa kunci, akhirnya saya bisa rebahan. Selonjoran dengan posisi miring mencangkung. Dari sini security mulai bergantian yang datang.
Pak security mulai bergerilya menyampaikan info kepada teman-temannya. Mungkin karena tidak enak berada di dalam dia berdiri tepat di depan pintu. Sekali-kali menengok keadaan saya, mungkin takut tetiba saya tidak bergerak lagi. Ada dua kali ganti security. Salah satunya lagi menawarkan teh hangat. Saya tolak, bukan apa-apa, karena saya merasa udah sangat merepotlan jadi ngga mau nambah-nambah lagi.
Pengumumanpun diedarkan, "Telah hilang seorang suami di area Solo Square," baiklah saya ralat, pengumuman yang semestinya telah dikumandangkan. 5 menit kemudian tidak ada tanda-tanda kemunculan sang paduka. Security di dekat saya akhirnya berganti dengan seorang perempuan manis, bertubuh cukup besar dan tak kalah ramah. Dia tidak hanya menemani saya ngobrol tapi juga menawarkan pijitan. Aduh, pengen sebenarnya, tapi itu berarti saya suntguh tidak tahu diri, aih ... *manfaatin banget* jadi sekali lagi saya tolak.
Pengumuman kedua kembali silafazkan, tapi hasilnya nihil. Security bertambah yang jaga di dalam klinik sama di luar, entah berapa orang. Kemudian salah seorang dari mereka memberikan saya teh hangat yang segera saya minum (haus juga ternyata). Sayup terdengar Pak security menanyakan ciri-ciri mas. Rafa dengan cerdas menjawab, "Pakai baju hitam, bertulislan reebok 111." Sampai ciri-ciri fisik. Dari walkie talkie terdengar program penyisiran area berdasarkan, ciri ciri yang dimaksud. Kebayangkan, malam minggu area Solo Square itu tidak dalam keadaan lengang. Parkir mobil saja penuh, hanya menyisakan area lantai paling atas. Parkir motor? sudah mengalahkan dealer motor paling besar se Solo raya.
Penyisiran akhirnya mengerucut, saat teringat kami janjian di area depan Gramedia. Hanya hitungan menit, Baginda Raja bisa di bawa kehadirannya dengan aman menampingi sang permaisuri. Setelah memeriksa keadaan saya, kakanda segera menurunkan kereta kencana melalui jalur khusus agar bisa segera membawa saya kembali ke istana. Dari ruang klinik ke depan yang berjarak sekitar 20 meteran itu saya menggunalan kursi roda dibantu mbak (alamakkk ... bener-bener sebuah perasaan yang tidam bisa dilukiskan dengan kata-kata, hueaa berasa haru tapi ada geli-gelinya gitu, saya menaiki kursi roda karena berpikir keluar iti masih jauh.) Bahkan masuk mobil saya sampai dipapah sama mbaknya. Setelah mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, kamipun meninggalkan kejadian perkara dengan selamat.
Kepada seluruh jajaran staf/security Solo Square saya haturkan terimakasih yang tiada terhingga atas segala keramahan, bantuan dan pelayanannya juga kepada siapapun yang malam itu membawakan saya teh hangat saya ucapkan terima kasih sekali. Mohon maaf jika saya agak merepotkan. Semoga Allah memberkahi dan membalas segala kebaikan kalian :)
Kami tiba di Solo Square sekitar pukul 8.30 malam. Raden kang mas berniat membeli jubah kebangsaan di area Matahari. Saya lebih tertarik membawa (baca: mangamankan) bocah-bocah ke planet Gramedia. kita berpisah tepat di depan area Aquarium bersisian dengan tangga dan eskalator.
"Bawa hape ngga?" tanya Kang Mas.
"Ngga," jawabku singkat. Memang sengaja engga bawa, batreynya sudah sekarat dan ngga mau juga nanti waktu sama bocah malah lebih tergoda nengokin gawai dari pada merhatiin bocah. "Nanti cari aja kami di area sini," balasku lagi sambil melipir menggandeng tangan Rafa dan Alfie ke area buku.
Baru beberapa langkah ada yang terasa menusuk-nusuk di perut. Aku coba tahan dan terus menyusuri rak-rak buku. Adakalanya para bocah menghilang, dan kalau hilangnya lama, aku jadi kelabakan. Harus menyisir satu persatu koridor. Ketemu si sulung, si bugsu enggak ada, ketemu lagi si bungsu eh si sulung lenyap. Sampai pojokan akhirnya bisa kumpul. Kalau tadi cuman terasa dua tusukan sesaat kemudian bertambah-tambah tak terkira. Hingga beberapa kali aku harus jongkok memeluk lutut di lantai. "Ada yang mau dibeli ngga?" rintihku sama Rafa. Ni anak malah geletakan di lantai mau baca-baca dulu. "Mama tunggu di luar ya?" Anak-anak mengangguk, tapi akhirnya ngekor di belakang.
Di luar gramedia sayangnya enggak ada tempat duduk --adanya kursi listrik sewa pijat-- Aku memilih duduk di area tangga menuju studio Film. Kami berjajar ke atas. Perutku semakin perih, keringat mulai bercucuran, saat itu yang kepikiran gimana caranya nyari kang mas, untuk berjalan saja amat kepayahan. Tanganku sudah ngga bisa lepas dari perut. Satu persatu orang yang lewat berharap diantaranya itu Mas Kukuh, yang ada orang-orang melihatku dengan tatapan yang susah digambarin. Mungkin ... mungkin lo ya, mukaku sudah serupa Bella Swann yang satu bulan belum gigit orang.
Sempat kepikiran, apa Rafa saja yang kuminta ke area Matahari dan cari papanya, alamakkk cem mana kalau dia hilang. Tidak berapa lama kemudian seorang security berbadan cukup semok, berkemeja hitam dan berrambut ala tentara itu dari kejauhan menatapku. Percayalah ... itu tatapan bukan orang yang sedang jatuh cinta, karena tidak kutemukan amore-amore di atas kepalanya tapi tatapan empati bin kasihan, mungkin tampangku serupa istrinya ketika mau melahirkan. Ia menghampiriku, "ada yang bisa kami bantu, Bu?" ucapnya sangat ramah.
"Perut saya sakit, Pak. Tapi suami lagi di Matahari dan saya ngga bawa hape, bisa minta tolong dipanggilin?" Tentu saja saya sudah tahu kalau di area matahari itu sering banget berita-berita panggilan, kehilangan sampai berita ditemukannya bocah-bocah yang terpisah dengan ortunya. Kemudian pihak security yang hitam manis itu mencatat nama mas, alamat juga nama saya.
"Apa tunggu di ruang klinik aja dulu, Bu?" tawarnya lagi.
"Jauh ngga, Pak?"
"Enggak, nanti kita pakai lift."
Di jalan saya masih meringis, sampai di lift beruntung ada kursi. Depan ruangan klinik ternyata pintu masih terkunci. Saya duduk di area warnet/game online yg tidak ada penghuninya, kebetulan lg kosong. Pak security bawa kunci, akhirnya saya bisa rebahan. Selonjoran dengan posisi miring mencangkung. Dari sini security mulai bergantian yang datang.
Pak security mulai bergerilya menyampaikan info kepada teman-temannya. Mungkin karena tidak enak berada di dalam dia berdiri tepat di depan pintu. Sekali-kali menengok keadaan saya, mungkin takut tetiba saya tidak bergerak lagi. Ada dua kali ganti security. Salah satunya lagi menawarkan teh hangat. Saya tolak, bukan apa-apa, karena saya merasa udah sangat merepotlan jadi ngga mau nambah-nambah lagi.
Pengumumanpun diedarkan, "Telah hilang seorang suami di area Solo Square," baiklah saya ralat, pengumuman yang semestinya telah dikumandangkan. 5 menit kemudian tidak ada tanda-tanda kemunculan sang paduka. Security di dekat saya akhirnya berganti dengan seorang perempuan manis, bertubuh cukup besar dan tak kalah ramah. Dia tidak hanya menemani saya ngobrol tapi juga menawarkan pijitan. Aduh, pengen sebenarnya, tapi itu berarti saya suntguh tidak tahu diri, aih ... *manfaatin banget* jadi sekali lagi saya tolak.
Pengumuman kedua kembali silafazkan, tapi hasilnya nihil. Security bertambah yang jaga di dalam klinik sama di luar, entah berapa orang. Kemudian salah seorang dari mereka memberikan saya teh hangat yang segera saya minum (haus juga ternyata). Sayup terdengar Pak security menanyakan ciri-ciri mas. Rafa dengan cerdas menjawab, "Pakai baju hitam, bertulislan reebok 111." Sampai ciri-ciri fisik. Dari walkie talkie terdengar program penyisiran area berdasarkan, ciri ciri yang dimaksud. Kebayangkan, malam minggu area Solo Square itu tidak dalam keadaan lengang. Parkir mobil saja penuh, hanya menyisakan area lantai paling atas. Parkir motor? sudah mengalahkan dealer motor paling besar se Solo raya.
Penyisiran akhirnya mengerucut, saat teringat kami janjian di area depan Gramedia. Hanya hitungan menit, Baginda Raja bisa di bawa kehadirannya dengan aman menampingi sang permaisuri. Setelah memeriksa keadaan saya, kakanda segera menurunkan kereta kencana melalui jalur khusus agar bisa segera membawa saya kembali ke istana. Dari ruang klinik ke depan yang berjarak sekitar 20 meteran itu saya menggunalan kursi roda dibantu mbak (alamakkk ... bener-bener sebuah perasaan yang tidam bisa dilukiskan dengan kata-kata, hueaa berasa haru tapi ada geli-gelinya gitu, saya menaiki kursi roda karena berpikir keluar iti masih jauh.) Bahkan masuk mobil saya sampai dipapah sama mbaknya. Setelah mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, kamipun meninggalkan kejadian perkara dengan selamat.
Kepada seluruh jajaran staf/security Solo Square saya haturkan terimakasih yang tiada terhingga atas segala keramahan, bantuan dan pelayanannya juga kepada siapapun yang malam itu membawakan saya teh hangat saya ucapkan terima kasih sekali. Mohon maaf jika saya agak merepotkan. Semoga Allah memberkahi dan membalas segala kebaikan kalian :)
No comments:
Post a Comment