Nov 26, 2017

Tukang Kredit

Ibu saya dari keluarga sangat sederhana dan kolotan. Dulu saya pernah lihat beliau memakai kalung dengan bandulan berhiaskan batu-batu kecil yang mulai usang. Di sela-selanya terdapat noda hitam. Sebuah cincin kecil dan sepasang giwang berbentuk daun.

Beliau tidak suka ikut arisan. Tidak pernah terdengar tukang kreditan yang menagih apa-apa. Karena memang tidak suka membeli barang-barang secara kredit. Bahkan rasanya tidak pernah berhutang, beliau lebih suka mengumpulkan entah di mana kemudian dikeluarkan kembali untuk hal-hal yang tidak bisa dipenuhin bapak. Tidak pernah berurusan dengan administrasi perbank an. Dan hanya bisa memencet tombol gawai untuk menerima telepon.

Beliau tipe ibu rumah tangga yang mengabdikan diri untuk suami dan keluarga.

Mungkin kebiasaan itu sedikit banyak turun pada anaknya. Saya tidak suka arisan. Dulu waktu sekolah pernah ikut-ikutan karena diimingi sesuatu yang menggiurkan. Tapi sungguh itu melelahkan. Menunggu dapat arisan dengan perasaan harap-harap cemas. Apalagi pas lagi butuh banget, pengharapannya sudah tingkat dewa. Eh pas giliran sudah dapat, rasanya kok berat ya bayarin sissanya. Bener-bener pekerjaan yang tidak mengasikkan.

Pernah lagi ikut dengan pangguyuban ibu-ibu anak-anak sekolahan. Endingnya sangat menyesakkan. Kalaupun sekarang ikut di perkumpulan ibu-ibu PKK lebih ke sosial. Anggap saja bantuin tuan rumah yang menyediakan tempat dan snacknya. Dapatnya juga kurang lebih segitu. Jadi enggak ada pengharapan yang tinggi.

Dan tentang kreditan, saya pengen bilang "bukannya sombong" haish .. ini aslinya sombong terselubung tapi enggak mau bilang-bilang. Sejak saya bisa megang uang, sampai tulisan ini tayang, saya belum pernah sekalipun beli barang kreditan. Saya memilih menahan diri untuk memiliki sesuatu. Jika barang tersebut tidak akan membuat saya mati dengan tidak memilikinya, saya akan mengabaikannya atau mancari saat yang tepat untuk memiliki.

Sayapun sedang belajar memilah mana yang elok buat di publish mananyang kurang patut. Untuk apa? Apalagi barangnya masih cicilan. Atau yang di pertontonkan hanyalah semu. Tidak apa-apa mereka mengira saya kere dan tidak punya apa-apa (kadang memang demikian aslinya) itu lebih membahagiakan daripada punya apa-apa  setiap bulan nyesek mikirin tagihan. Tidak apa-apa kemana-mana jalan kaki, naek angkot atau tumpakannya mobil butut. Tapi hati adem, pikiran tenang dan perut kenyang, horeee ... (ini paling utama).

Saya juga berusaha menghindari komunitas-komunitas yang membuat saya tidak nyaman. Semisal harus berpenampilan eksklusif, bawa barang-barang bagus, kalau enggak dandan bakal malu-maluin. Kalaupun harus berada di sana, biasanya hanya bisa bertahan sebentar. Untuk apa memaksakan diri berada di kalangan elito tapi harus memakai topeng. Tempat yang nyaman itu seperti rumah. Bisa menjadi diri sendiri dan tertawa dari hati. Teman sejati tidak akan mengontrol hidup temannya, tapi dia akan selalu berada di sisinya dalam tawa ataupun duka

No comments: