Nov 19, 2017

Jangan Pernah Menawar

Pagi masih merekah. Di pertigaan sebuah jalan besar, tampak bapak-bapak menggelar lapak dagangan. Aneka sayur dan buah-buahan segar. Beralaskan karung plastik. Beberapa masih utuh di dalam sebuah bakul. Kulit mereka legam, dengan tubuh kurus.

 Seorang ibu sedang sibuk memilih beberapa petai dan menanyakan harga. Saat bapak itu menjawab tentang sebuah harga, sang ibu melonjak kaget, “Petai layu begini kok mahal sih, Pak!” ucap sang ibu. Tergambar sangat jelas raut kesedihan di wajah sang penjual. Si  ibu itu serta merta mencari pembenaran kepada saya, “iya kan, Mbak? Layu gini masa dikasih harga segini,” ucapnya lagi.

Saya yang melihat petai itu amat sangat hijau tentu saja otomatis menolak, “Enggak bu, itu masih sangat segar,” ucap saya lagi. Si ibu mengedip-ngedipkan mata supaya saya paham dan membantu. Maaf, saya tidak kenal anda juga si pedagang, saya hanya mengikuti apa kata hati saya.

Beberapa kali memang saya berbelanja di pertigaan itu. Pernah suatu kali bertanya dari manakan buah-buahan dan sayur itu didatangkan. Dari penuturannya,  semua dipetik dari perkebunan di Boyolali. Mungkin bukan dari perkebunan mereka sendiri, ada beberapa dari kerabat atau orang sekitar. Setiap bulan dagangan mereka bisa berganti-ganti, tergantung musim yang sedang panen. Mereka mengangkut menggunakan bus antar kota.

Mari kita hitung mundur. Mereka telah tiba di sana sekitar jam 7 pagi. Itu  berarti  dari Boyolali sendiri sekitar jam 6. Tentu mereka harus menyipakan dagangan terlebih dahulu sebelum diangkut, anggaplah jam 5. Belum lagi kalau mereka memetik sendiri dan lain sebagainya. Mereka akan pulang saat dagangan habis. Kalau tidak habis biasanya menjelang siang akan di jual dengan harga di bawah standar. Berapakah kira-kira keuntungan yang mereka peroleh?

Iya bu, saya sangat paham. Kita sebagai ibu rumah tangga harus jeli memanajement keuangan agar tidak besar pasak daripada tiang. Harus pinter-pinter memilah mana yang dibeli dan mana yang tidak. Benar, kalau dapat harga murah, kenapa harus beli yang mahal kalau kuwalitasnya sama-sama bagus. Kalau bisa nawar dan menekan harga serendah-rendahnya, kenapa harus pasrah saat seorang pedagang seperti mereka masih bisa diajak negosiasi.

Tapi bu ... iya tapi, pernahkah kita berpikir, mereka hanya pedagang kecil. Perjalanan untuk sampai menemui pembeli itu sungguh bagi mereka tidak mudah. Mereka tidak punya karyawan yang bisa membantu mereka saat lelah di perjalanan. Mereka tidak bisa memanajement waktu dan keuangan secara pasti karena mereka menghitung hanya lewat perasaan dan pikiran. Kadang Bu.. iya, kadang, kalkulator saja mereka tidak punya, apalagi smartphone dengan aplikasi canggih untuk menghitung segala usaha mereka.

Iya, saya paham banget. Pedagang-pedagang kecil itu kadang mukanya judes, senyumnya kurang. Adakalanya barang-barangnya sudah tidak layak. Atau di permukaan bagus, tapi di dalam jelek. Tettapi, pedagang besar juga sama. Mereka juga sering melakukan kecurangan, mereka juga ada yang judes. Jangan pernah pukul sama rata pedagang kecil itu curang. Andai mereka sudah jadi pedagang besar, mereka pasti sudah ogah jualan di pinggir-pinggir jalan. Kalaupun keberatan dengan harga yang mereka tawarkan, ataupun dagangannya tidak kita sukai, sudah tinggalkan saja. Tidak perlu lagi mengomentari apalagi melontarkan kata-kata pedas untuk menyakiti mereka.

Yang saya khawatirkan, kalau mereka sudah melek tekhnologi, bisa dibayangkan, mereka tidak akan mau lagi mangkal di pertigaan dan harus menghadapi pembeli-pembeli yang cerewet seperti kita ini. Lebih dari itu, mereka akan mendoktrin keturunan-keturunan mereka untuk jangan pernah jadi pedagang kecil seperti mereka apalagi petani. Sungguh, sudah caranya melelahkan, terus sering dizolimin pula. Enak itu di supermarket, tidak ada yang berani nawar. Pemilik bisa jalan-jalan, dan usahanya pun tetap berjalan.

Bagaimana kalau sudah tidak ada lagi yang mau berkebun? Tidak ada lagi yang mau jadi petani? Terus kita makan-makanan import gitu? Saya mah ogah. Saya masih suka buah sirsak yang ditanam di bumi Indonesia. Saya masih suka mangga harum manalagi, yang sengir dan teman-temannya itu. Saya tidak terlalu menyukai anggur australia, banana entah dari mana. king banana (baca; pisang raja) is de best, juga pisang ambonnya yang dari Tawang mangu, itu sungguh tiada duanya. Salah pondok? Itu buah eksotis pakai banget. Apel malang? Apel paling enak se angkasa raya. Beras rojolele? Aw .. ini beras sangat enak dan enggak ngebosenin, tidak tergantikan oleh beras vietnam ataupun basmatinya ala-ala luar sana.

Mari lindungi para petani-petani juga pedagang-pedagang kecil. Sejahterakan dan bahagiakan mereka selalu.

Salam dari anak mantan pedagang kecil :)

No comments: