Jul 19, 2018

Belajar Arti Kehilangan

Masih di area halaman toko penjual sepatu menuju pulang, bibir si sulung manyun, matanya merah dan berkaca, tangannya bersidekap.
“Ibu-ibu itu yang salah, Ma,” ucapnya merengut.
“Tidak semua orang baik sayang, begitu pula, tidak semua orang jahat,” ucapku berusaha menenangkan. “Kamu pengen ngeratapin lama hingga stres apa di ikhlasin?”
“Itu mainan punyaku satu-satunya,” jawabnya ketus.
“Tahu aja satu-satunya kenapa teledor?”
“Mama nggak bilangin sih!” mukanya terus bersengut.
“Gimana mama mau bilangin, orang sudah hilang gitu.”

Dia masih saja merengut. Ingin menangis tidak tahu apa yang ditangisin.

Tadi malam kami ke pusat penjualan sepatu. Nyariin si sulung sepatu sekolah. Rafa bawa mainan rubrik, hadiah ayahnya waktu ke luar kota dulu. Mainan itu masuk kategori favorit. Sering di bawa kemana-mana. di usia sekitar 7 tahunan berkat bantuan Mas Amin –karyawan toko- juga teturial youtube,  mainan itu telah berhasil dikuasai. Sempat berhenti, dan terbengkalai begitu saja. Hingga beberapa minggu terakhir ini ia kembali memainkannya. Sering dibawa kemana-mana, apalagi perjalanan jauh.

Saat mamanya sibuk mencari sepatu yang cocok, dia sibuk bermain rubrik, sampai ketemu empat pasang sepatu biar dia bisa milih. Sedang asik milih, hingga ketemu yang nyaman dan cocok dia mencoba berlari menyusuri karidor toko. Mamanyapun ke area lain, buat nyari sendalnya yang juga putus dan hilang. Waktu Rafa kembali, kami sudah menduduki area kursi lain.

Saatnya pembayaran dan pulang. Waktu menuju motor, Rafa baru sadar kalau mainannya tertinggal. Dia berusaha mencari ke sana kemari. Mamanya pun ikutan turun dari motor dan membantu mencari. Tapi sayang, mainan itu sungguh tidak terlihat.

“Mbak, ada lihat mainan rubrik nggak ya? Tadi tertinggal,” tanyaku pada seorang pelayan toko. Perempuan berambut panjang lurus rebonding dengan tubuh semampai itu agak bingung. Hingga temannya di sebalah bilang. “Perasaan tadi diambil ibu-ibu, Mbak?” ucapnya.
“Bisa tunjukin ibu-ibu yang mana, ya?”
“Kayanya sudah pulang, Mbak.”
“Oh.”

Akupun pergi dan memberi penjelasan ke Rafa. Jadilah drama keluarga ala Korea.
Saat duduk di bangku sebuah rumah makan, si sulungmelamun, dan matanya mulai berembun.
  
“Dulu papa kehilangan kabel seharga limajuta rupiah,” ceritaku.
“Papakan punya kabel banyak. Itu mainan Rafa satu-satunya,” sahutnya kesal.
“lima juta itu bisa buat beli rubrik hingga ratusan buah.”
“Iya, tapi papa masih punya kabel banyak,” dia tetep ngeyel.
“Untuk mendapatkan laba limajuta itu, papa harus jual barang lebih banyak lagi. mungkin harus berhari-hari atau berminggu-minggu, bisa juga berbulan-bulan.”

Dia diam.

“Kamu tahu rumahnya Om Rizal, kan?” Om Rizal adalah teman Mas.

Ia mengangguk.

“Waktu kita ke pantai kemarin, rumah di seberangnya itu terbakar. Semua barangnya ludessss … desss tak bersisa.”

 “Terbakar kenapa, Ma?” Dia mulai antusias.

“Nyalain  kompor tapi lupa matiin, kemudian ditinggal pergi. Baju-bajunya, perabotan, dapur, mainan, semuanya-semuanya terbakar. Sekarang harus menginap di mesjid, begitu yang mama dengar.”

“Makannya?” potong Rafa.

“Menurut informasi, dikasih tetangga-tetangga yang baik hati.”

Rafa mulai menerima.

“Bisa saja Allah sedang ngasih ujian, bisa saja Allah mau ganti yang lebih baik, bisa saja di dalam sana ada harta yang belum seharusnya milik mereka, bisa saja.. bisa saja, hanya Allah yang tahu.

Kalau meratapi berlama-lama, tidak hanya setress tapi bisa sakit-sakitan dan gila. Jalan satu-satunya, ikhlasin.  Sekarang kamu boleh sedih tapi jangan lama-lama. Anggap saja peringatan. Besok-besok harus lebih hati-hati. Jangan masuk ke lubang yang sama. Pengalaman itu mahal.

Kamu tahu Mamanya Keisya kan?”

Rafa kembali mengangguk.

“Dulu dia kehilangan sepeda motor, padahal sudah dikunci. Yang penting kita harus menjaga dengan baik, hati-hati dan nggak teledor. Setiap kita punya kontrak sendiri-sendiri. kontrak Rafa sama mainan itu, berarti sudah habis. Rafa sama baju inipun ada kontraknya, Rafa sama mama, sama dedek, tapi kita tidak tahu kapan itu akan berakhir,” ucapku sambil memegang bajunya.

“Dulu, pintu garasi toko tidak terkunci, bahkan terbuka sedikit gara-gara teledor. Kalau ada orang jahat, bisa saja dia memasuki toko dan menguras semua isinya. Tapi Allah masih jaga dari orang-orang yang berniat jahat. Setelah itu, papa jadi lebih hati-hati lagi.”

Wajahnya sudah mulai cerah. Hingga tulisan ini ditayangkan, roman mukanya sudah kembali normal. Tapi saya tidak berani mengungkit-ungkit rubriknya, kecuali dia yang mulai.

No comments: