Sep 26, 2018

Bom Waktu

“Ma, temenku di rumah punya PS, di hapenya juga banyak game,” ucap Si Sulung saat kami sedang menikmati makan malam bersama.

“Hem.” Saya masih asyik memamah biak.

“Dia di rumah sering ditinggal sendiri.”

Krauk … krauk! Satu kerupuk sukses melewati tenggorokan.

“Mama juga bisa beliin kalian PS.” Masih sambil ngunyah makanan.

“Bener, Ma?” Mata mereka tampak berbinar.

“Iya, beli yang bekas, lima ratus ribu sudah dapat yang bagus. Mahalan dikit satu jutalah.”

“Wah,” tambah semangat mereka.

“Atau hape yang komplit sama game-game nya.”

Mereka saling lirik dan saling menebar senyum.

“Enakan? Murah itu, ditotal-total mentok-mentok dua jutaan lah, mayan buat bertahun-tahun. Enggak perlu Mama langganan majalah anak-anak, beli buku-buku tebel, sampai nyari-nyari mainan edukatif segala. Belum lagi, hampir tiap hari minta dibacaan cerita.

“ Kalian bakal anteng. Mama jamin kalian akan betah di rumah dan bersih selalu. Enggak perlu panas-panasan di luar, nggak perlu kotor-kotoran. Dan lebih ‘aman’. Mama juga enggak perlu muterin kampung ke sana kemari saat kalian lupa makan, lupa solat, bahkan kadang lupa Mama  khawatir nungguin kok enggak pulang-pulang.”

“Iya, Ma?” Semangat empat lima sambil mengibarkan bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan. Mungkin dikiranya Sang Mama sudah berubah jadi kucing anggora yang lucu dan menggemaskan. Padahal biasanya macem singa yang siap menerkam.

“Hu um, Mama juga bakalan enak, bisa pergi  lama bebas hambatan. Nyalon, nyaleg, belanja sendiri tanpa perlu repot-repot ngurusin kalian itu. Bisa tidur siang sambil ngorok, selonjoran, ngobrol haha hihi tanpa ada yang gangguin, nonton filem dan enggak ada itu yang suka bilang ‘Ma bosen Ma bosen’ hingga Mama harus memutar otak bagaimana caranya kalian betah dan mau diem.”

“Beneran nih Ma?”

“Yup, satu tahun, dua tahun, empat tahun, kita akan hidup dalam ketenangan dan kedamaian. Tapi setelah itu—“

Mereka mulai tegang, “Apa Ma?”

“Mama akan sibuk mondar mandir ke dokter mata, jantung, tumbuh kembang anak, bahkan mungkin psikolog dan psikiater. Tidak hanya sibuk, tapi juga mahal. Satu kali bertemu dokter spesialis itu saja minimal 200 ribu rupiah. Belum lagi obat-obatannya, belum lagi terapinya. Dan itu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, mungkin seumur hidup. Saat itu mungkin mama sudah tidak bisa selonjoran lagi, dan uang papa banyak terkuras buat ngurusin kalian ke dokter.

“Untuk pakai kaca mata saja, kalian harus adaptasi selama minimal satu bulan. Harganya jutaan. Selama satu  bulan itu kalian akan menderita pusing dan enggak enak. Mau?”

Mereka menggeleng.

“Kita hidup itu butuh temen, butuh bersosialisasi. Dan itu ada ilmunya. Kadang kita butuh bertengkar dengan orang kemudian mengerti rasanya gimana disakiti, gimana caranya memaafkan kemudian mengihklaskan. Itu pelajaran seumur hidup. Untuk kuat, kita butuh jatuh berkali-kali. Jatuh sejatuh-jatuhnya kemudian mengerti caranya bangkit. Kita butuh menangis, bahkan mungkin kita  butuh menyendiri, kemudian mengatasi masalah yang sedang dihadapi.

“Di saat-saat tertentu bahkan kita butuh diam, iya diam macem batu. Dan itu butuh latihan. 

“Liat ada orang kesusahan, kita harus berempati, bukannya sibuk selfie. Itu juga  butuh latihan, belum terdapat diaplikasi manapun dan tidak dijual di negara maju sekalipun. Saat kecil inilah rasa-rasa itu harus dilatih, kalau sudah besar susah. Orang yang enggak bisa mengontrol emosinya sendiri akan tumbuh menjadi jiwa yang labil.

“Orang yang tidak terbiasa, akan mudah menyerah kemudian putus asa. Gampang stress, bahkan bisa melukai diri sendiri dan orang lain.

“Kalian tahu kan si Mawar, orang tuanya tidak ada yang bermasalah dengan matanya, tapi lihat Mawar, baru umur enam tahun sudah berkaca mata. Kalian lihat sendiri kan kesehariannya?

“Juga Si Budi, sampai sekarang harus mondar mandir ke psikiater bahkan minum obat seumur hidupnya. Sejak usia dua tahun sudah dibebasin mengenal komputer, dan game-game hape. Sejak kecil terbiasa dikasih enak, tidak tahu caranya menghadapi hidup susah. Kalau tidak di kasih, ngamuk kemudian minggat dari rumah.

“Jadi gimana? Mau Mama fasilitasi?”

“Enggak, Ma.”

“Masih mau Mama batasin, tegur dan bilangin?”

“Masih, Ma. Ampun … Ma.”

“Bersabarlah, otak, tubuh, tangan-tangan kalian, hati dan jiwa kalian kalian masih butuh tumbuh. Bersabarlah, ada saatnya Mama tidak akan pernah bisa melarang kalian lagi. Mama harap saat itu kalian sudah mengerti dan bijak menggunakan apapun. Bersabarlah, orang-orang yang menciptakan karya-karya keren saat ini buah hasil dari kesabaran orang-orang yang mau bersusah payah, belajar dan meredam kesenagan sesaat di masa lalu.”

No comments: