May 9, 2016

Hari ke-5 part 2: Labil

Siang hari suhu Rafa naek lagi hingga sore. Kebetulan termometer kami rusak akibat jadi bahan mainan anak-anak. Karena suhunya di rasa tidak kunjung turun, mas Kukuh berinisiatif memberinya serbuk yang di kasih dokter. Serbuk itu di campur air dan di taruh di gelas. Baru saja masuk mulut Rafa, minuman tersebut langsung dimuntahkan.

"Paitttttt ma" Raut wajahnya menyeringai.

"Di campur madu ya" pintaku lagi. Mas Kukuh membelikan madu di apotik terdekat. Kali ini serbuk obat di campur madu dan ditaruh di dalam spit. Lama sekali Rafa memandang spit tersebut. Rasa pahit yang membekas di lidahnya mungkin masih terngiang-ngiang, membuatnya begitu berat untuk menelan kembali.

"Ayooo di coba, itu udah manis" rayuku padanya. Dia masih memandangi serbuk yang telah berubah wujud menjadi setengah jel dan berwarna merah mudah karena bercampur madu rasa strawberry.

"Ayoooo sayang di minum, biar badanmu ngga panas lagi" bujukku lagi.

"Tapi paittttt.."

"Nggaaaa, itu kan udah bercampur madu, ayuuu mama tambahin karamel susunya" ku ambilkan sebutir karamel susu, oleh-oleh mas Kukuh waktu mampir di Garut beberapa pekan yang lalu. Secepat kilat dia memasukkan karamel ke mulut, namun tak jua dia minum obatnya.

Rafa masih meratapi spit obat. Berbagai cara kucoba memintanya untuk meminum obat tersebut "coba dulu dikit, cicipiinnn!!" Kali ini suaraku agak meninggi.  Hampir setengah jam berlalu, dia tetap memegang spit itu tanpa mencoba sedikitpun.

"Sini mama bantuin" pintaku kembali, tapi dia malah menghindar.

"Ngga mauuuu... nanti mama tekan" Rafa bangkit dari kursi teras jaga jarak denganku.

Kesabarannku mulai memudar "itu obat udah tercampur macam-macam, udah di luar terlalu lama nanti ngga bagus lagi" kali ini suaraku naik 3 oktav. Sebenarnya aku tidak tahu pasti apa obat itu memang akan berkurang atau tidak pengaruhnya jika sudah terlalu lama di dalam spit.

"Nanti paitttt maaa... paitttt!!!" Kata-kata ini terus yang di lontarkannya. Sejuta keraguan tergambar dari sorotan matanya. Dia ingin sembuh tapi obat ini terlalu pahit, mungkin seperti itulah pikirannya.

"Coba dulu, muntah ya muntah, yang pasti Rafa udah mau coba, dan kita udah tahu Rafa bisa nelan obat itu atau tidak!"

"Mama tidak tahu, obat ini pahitttt.."

"Cobaaaa, tolongggg di cobaaaa Rafa, kalau tidak mau... sudahhhh mama buang saja sekaliannnn..." kesabaranku benar-benar memudar. Matanya berkaca-kaca, dia tahu mamanya sangat kesal.

Astagfirullah al azimmm, apa yang telah aku perbuat, bagaimana bisa aku sekeras ini padanya, di saat kondisinya sedang lemah tak berdaya. Sejenak aku masih bisa berpikir terang kembali namun  sejenak pula akal pikiran warasku seakan runtuh ketika dia masih memegang spit tanpa mau meminumnya.

"Sudahhhh Rafa, kalau tidak mau tidak usah sekaliannn.. kasihkan mama, ngga usah ada obat-obatan lagi" kekesalanku terus memuncak, ya Allahhh.. apa yang terjadi padaku. Kelelahan fisik atau kekhawatiran yang berlebih membuatku benar-benar tak terkendali. Rafa terlihat sangat takut, dengan memaksakan diri akhirnya dia minum obat itu.

Aku masuk memisahkan diri sejenak darinya. Termenung, betapa teganya aku, bisakah aku lebih lembut dan sabar menghadapinya. Dia hanya anak-anak, dia sedang sakit.

No comments: