Saya sedang ke pusat perbelanjaan naik motor bersama dua bocah. Harus menyeberang jalan dengan posisi satu anak berusia 5 tahun dalam gendongan, satu tangan lagi memegang erat pergelangan si sulung. Jalanan cukup ramai dan cukup kerepotan untuk menghentikan kendaraan yang berlalu lalang. Para petugas parkir terlihat acuh tak acuh walau mereka sedang tidak ada kesibukan.
Beberapa hari kemudian, bersama kerabat ke tempat perbelanjaan yang sama. Hanya saya yang turun karena suatu keperluan. Saat ingin menyeberang, seorang petugas parkir dengan sigap mengawal saya menyeberang hingga tiba di tempat tujuan dengan 'selamat.' Padahal jalanan tampak lengang. Ketika pulang, pintu mobil dibukakan bak putri raja. Saya tidak gila hormat bahkan rasanya risih diperlakukan seperti itu. Kendaraan dijaga agar keluar parkiran dengan aman. Mobil yang mengantar saya itu mungkin masuk kategori mewah, tetapi cicilannya baru akan lunas lima tahun kemudian. Dengan catatan jika angsurannya tak ada kendala.
Lihatlah, betapa penampilan bisa membuat perlakuan seseorang bisa berubah 180 derajat. Kemudian orang berlomba-lomba menampilkan sisi terbaiknya. Agar diterima di sebuah komunitas dan meningkatkan rasa percaya diri. Mungkin juga sebagai penghormatan untuk orang yang mengundang. Semisal bertamu ke istana negara, apa iya bersandal jepit (padahal sandal ini sandal paling nyaman dan anti air). Bisa-bisa baru masuk halaman saja sudah kena rajia :D
Suatu ketika saya yang anak ndeso dengan kuku hitam berpenampilan lusuh bertandang ke sebuah rumah. Cukup mewah di antara rumah-rumah lain. Semula saya senang bisa melihat dan merasakan langsung barang-barang yang tidak ada di rumah kami. Tetapi, Sikap mereka sangat dingin, terkesan menjaga jarak. Saya seperti patung, untuk tertawa lepas saja tidak bisa. Kurang sopan. Tidak nyaman. Setelah itu, jangankan berkunjung, diundang saja rasanya enggan. Untuk apa? Agar mereka puas menginjak kenistaan saya? Atau jadi babu dadakan yang bisa disuruh-suruh?
Tidak jauh dari area tersebut terdapat rumah besar, namun sudah lapuk dan mungkin kena beliung seketika roboh. Mereka menempati rumah tersebut karena harga sewa yang murah. Setiap hujan, gemericik air membasahi lantai, kasur, kursi dan perkakas lainnya. Ajaib, kami bisa tertawa bahagia berkecipak di sana. Saya diterima dengan hangat dan diperlakukan sangat baik. Mereka selalu menyuguguhkan makanan apapun yang mereka punya dengan senyuman keikhlasan walau hanya sebatas gorengan dingin.
Saya sering menginap dan sering menjadikan rumah tersebut sebagai tempat tinggal kedua. Diterima apa adanya dan diperlakukan layaknya keluarga adalah sebuah kemewahan. Tidak semua orang memiliki kelapangan hati serupa samudra, begitu tenang di permukaan namun memiliki ribuan mutiara di kedalaman. Menerima siapa saja yang datang tanpa melihat perbedaan. Saya saja masih belum mampu, kadang masih terkecoh dengan balutan luar, kemudian memperlakukan mereka secara berbeda, apalagi kalau hati sedang tidak suka.
Kembali ke rumah yang dianggap mewah tersebut. Beberapa bulan kemudian, debt colector menghampiri. Pecahlah perang. Jadi bahan gosip sejagad raya. satu persatu barang harus lepas karena jaminan. Malu, tentu saja. Si empunya rumah akhirnya memilih pindah entah kemana.
Di sudut kota lain. Sebuah perusahaan jasa ternama. Ia memiliki cabang dimana-mana. Ketenarannya hanya hitungan tahun. Kerabat kami kebetulan bekerja di bank pemerintah, tempat pengusaha tersebut meminjam modal, bercerita. Sang pengusaha kesulitan melunasi hutang yang bunganya terus menumpuk. Ia sakit-sakitan, kemudian meninggal. Dalam sekejap perusahaannya bangkrut, namanya tenggelam.
Dari wilayah yang sama. Seorang bapak bertandang ke tempat kediaman kerabatnya. Mukanya kusut, badannya aut-autan, pancaran matanya begitu redup. Depresi tingkat akut. Habis bertengkar dengan istri yang tidak mau menjual rumahnya, sedangkan pinjaman di bank sudah berbulan-bulan tidak bisa dilunasi.
Ia memohon dan mengiba dengan sangat, agar dipinjami uang untuk menutupi bunga. Agar bisa bernapas paling tidak untuk sebulan ke depan. Walau bulan berikutnya entah apa yang akan terjadi. Dulu, ketika meminjam di bank, usahanya sedang berada di atas angin. Rumah mereka kecil namun memiliki tanah yang kosong. Dengan kemantapan hati dan pertimbangan usaha yang terus maju, mereka memperluas tempat tinggal. Kemudian usaha merosot. Berbulan-bulan ia seperti kehilangan arah, kesana ke mari mencari penutupan. Bahkan untuk makan sehari-hari saja kesusahan.
Dan masih banyak lagi ... dan masih banyak lagi.
Hutang membawa nikmat sesaat, sengsaranya sepanjang hayat. Tidak ada orang benar-benar bahagia selama ia memiliki pinjaman. Serupa serabut menjerat kaki, perut dan kepala. Semakin banyak hutang seseorang semakin erat ia melilit. Bersenang-senang dan abai dengan tanggungan, jeratan itu akan berpindah ke lehernya.